“Menulis itu bukan sekadar melamun tetapi adalah melakukan kerja-kerja intelektual,” aku selalu mengingatkan para peserta Kelas Menulis Gol A Gong. Kenapa aku mengatakan itu, karena kebanyakan menganggap begitu.
Nah, itu saya temukan ketika membacai cerpen-cerpen dengan “tema tertentu” di ajang 30 Hari Menulis di group FB Nulis Aja Dulu, aku melihat para penulis berada di seberang tema itu. Tidak berani masuk menyelami satu tokohnya. Menulis cerpen atau novel hakekatnya adalah “proses menjadi orang lain”.Terasa sekali mereka “melamun”. Apakah mereka tidak melakukan riset pustaka atau riset lapangan sebelum menulis? Dari bukti cerpen yang aku baca, indikasi ke sana ada.
Terima kasih ilmunya, Mas.
Sma-sama belajar, Mbak. Saya juga terus belajar, karena sering melakukah hal sama.
Pingin bisa gabung kak
Ke Tias Tatanka di 081906311007.
Wow, terlambat tulisan ini muncul. Jadi gak bisa eksplore kemaren. Tugasnya sudah selesai. Tapi akan jadi catatan indah untuk tulisan selanjutnya.
Makasih ilmunya bang.
Saya mneulis ini bukan untuk Mas menang lomba. Siapa tahu bermanfaat ke depannya.
Jadi cerita fiksi pun harus melalui riset ya, biar nggak cacat logika? Lalu bagaimana dengan cerita bergenre fantasi, haruskah melalui riset juga? Atau kita bisa bebas berkhayal sesuka hati tanpa riset.
Sepanjang yang saya tahu, JK Rowling dengan Harry Potter itu melkukan riset, bahkan hingga ke negara-negara Eropa Timur. Risey itu membantu imajinasi kita.
Terima kasih ilmunya, Mas.
Alhamdulillah. Nuhun sudah mmpir.