Saya mengamati dan mencoba merasakan lingkungan di kedai itu. Di seberang saya ada sekelompok anak muda tetawa-tawa gembira. Di sisi kiri ada yang asik dengan laptopnya. Terasa sekali aroma eksklusifnya. Ini suasana komunitas – saya tidak bisa sembarangan bisa masuk ke mereka. Keinginan untuk mewawancarai mereka urung. Saya memilih fokus menamati saja.
Kemudian di hari lain saya minum kopi di warung pinggir jalan. Di sudut-sudut gelap. Di tempat mangkal tukang becak dan supir angkot. Saya bisa dengan mudah berbaur bersama mereka. Saya mendengarkan mereka mengeluh soal harga bensin, kebutuhan dana mendesak untuk bayar sewa kontrakan rumah, biaya siluman utuk anak-anak bersekolah, kebutuhan sembilan bahan pokok, dan tentu literasi digital yang semakin merajalela.
Saya semakin bersemangat walaupun belum bisa menemukan ide: saya akan menulis apa? Tentang apa?
Ketika saya berdiri di pinggir jalan, lalu di depan saya terbentang kompetisi dagang antara Alfamar dan Indomart, tiba-tiba melintas: ekonomi liberal. Warung-warung kecil sudah jarang saya temukan di pinggir jalan. Bahkan di kedua ujung jalan masuk ke kampung saya, di sebelah selatan dan utara, kedua minimarket itu sudah berdiri dengan gagahnya.
Akhirnya saya menemukan ide untuk menulis, yaitu tentang ekonomi liberal versus ekonomi kerakyatan di Indonesia. Saya sudah menemukan frasa “kebun kopi” atau “ladang kopi” untuk penamaan “Indonesia”. Jika bicara rakyat, frasanya adalah “biji kopi’.
Saya mulai riset – melakukan penelitian pustaka. Saya putuskan untuk riset lapangan di Sumatera mulai dari Sabang hingga Lampung selama 50 hari, persisnya di Mei hingga April 2013. Saya nongkrong dan begadang di kedai-kedai kopi Sabang – mendengarkan cerita dari Cina Hokien. Saya menyeduh kopi di Takengon bersama penyair senior LK Ara. Saya menulis puisi di Lut Tawar – danau yang sangat mistis.
Saya juga menyusuri Bukit Barisan, mulai dari Takengon, Bener Meriah, Kutacane, Kaban Jahe. Minum kopi tubruk, kopi luwak di kedai-kedai kopi mereka. Saya masuk ke gudang-gudang kopi, juga ikut menjemur biji kopi. Saya berguru kepada Hasan Aspahani di Batam, ke Fakhrunas MA Jabbar di Pekanbaru, gus tf Sakai dan Iyut Fitra di Payakumbuh. Juga Paus Sastra Lampung Isbedy Stiawan ZS.
Awalnya diterbitkan di Gong Publishing dan dibagi-bagikan kepada semua penyair Indonesia. Rumah Dunia saat itu mendapatkan dana hibah “Kampung Budaya” dari Ditjen Kebudayaan, Kemdikbud. Saya ikutkan di lomba Hari Puisi 2014 dan masuk 10 besar dari ratusan naskah yang masuk.
Setelah cetakan pertama habis, Gramedia menerbitkannya. Cetakan pertama habis. Buku puisi “Air Mata Kopi’ ini bergulir ke mana-mana. Saya menghadiri bedah bukunya dan ikut membacakan beberapa puisinya. Ada banyak puisinya yang dialihwahanakan ke dalam musikalisasi puisi. Misalnya Mukti Mukti dari Bandung.
Saya cukup puas dengan buku puisi “Air Mata Kopi” ini. Ada proses kreatif yang saya tempuh dan itu saya maksudkan untuk para penulis pemula yang sedang belajar di Kelas Menulis Rumah Dunia. Saya selalu mengingatkan, “Menulis itu bukan pekerjaan melamun, tapi berpikir dan melewati proses riset lpangan dan pustaka yang ketat.”
Gol A Gong, dini hari 14 Juni 2022, pukul 01:20, belum tidur.