Dan setiap sedang safari literasi, aku sempatkan bercerita kepada anak-anak TK. Biasanya cerita tetang Istana Cacing, Persahabatan Keluarga Cacing dan Keluarga Ayam, dan Kisah 2 Kelinci yang Mencuri Wortel Pak Tani,

Kadang tanpa aku duga, setelah cerita disiapkan, dibutuhkan mental dan strategi yang mantap ketika fokus anak-anak berpindah ke tangan kiriku yang diamputasi sebatas sikut.

Biasanya mereka berteriak antusias, “Eh, tangannya hilang!”

Anak-anak memang unik dan selalu ingin tahu hal-hal baru. Aku memaklumi itu. Jika ada yang bertanya seperti itu, aku akan memasang wajah tersenyum dan berkata: Siapa yang mau mendengar cerita tangan kiri Om yang hilang?

Biasanya anak-anak akan membalas, “Saya!” Tangan mereka diacungkan.
“Angkat kdua tangannya!” pintaku mengangkat tanganku yang cuma satu setengah.
Anak-anak akan mengangkat kedua tangannya dan memandang ke arahku dengan penuh tanda tanya.

Mulailah aku bercerita asal muasal tangan kiriku yang hilang. Begini kisahnya, “Suatu hari di atas rumah Paman Gong ada pesawat terbang. Siapa yang pernah naik pesawat terbang?”
Anak-anak separonya pasti menjawab, “Saya!” walapun belum pernah. Itu tidak penting. Yang paling utama adalah terjalin komunikasi dan interaktif antara aku dan anak-anak. Jika itu sudah terjadi, segalanya jadi mudah.

“Kalau pesawt terbang, siapa yang menyetirnya?”
“Ayah!”
“Aku!”
“Pilot!”
Jawabannya beragam.

Aku teruskan ceritanya, “Dari pesawat terbang itu banyak polisi terjun menggunakan parasut. Mereka tertiup angin, melayang-layang seperti layangan, lalu turun di dekat toko es krim. Mereka kehausan dan membeli es krim. Siapa yang suka es krim?”
“Sayaaaaa!”
