. Wuh…, over acting-nya luar biasa. Mulai dari perbaikan susunan acara, Satpol PP, Polisi, dan juga teknik penyambutan. Terlihat dan terasa aromanya terkesan, saya yang berkuasa. Sekedar ingatan penulis yang kerap menjadi pemabawa acara tingkat lokal dan nasional, pernah kejadian, karena pejabatnya belum datang seorang Al Mukarom yang tugasnya membacakan ayat suci Al-Qur’an diberhentikan di atas panggung karena pejabat yang diundang belum datang. Gila, ga? Tapi saya masih bersyukur Ustadz itu tidak pundung dan dia mau naik kembali.

Kehadiran Suryatati A. Manan patut kita apresiasi. Wali Kota yang juga seorang perempuan, namum kecintaannya terhadap dunia sastra begitu tinggi. Bahkan dalam pantun yang ia bacakan kerap mengkritik para pejabat bawahannya dan juga tidak segan-segan mengkritik para pendemo yang kerap dibayar oleh oknum, berikut petikan pantunnya,
/Bukan bemo sembarang bemo/ Bemo ditutup dengan terpal/ Bukan demo sembarang demo/ Demo ditutup dengan proposal. Lebih daripada itu, dengan pantun ia juga mengkritik dinas kesehatan di wilayah kerjanya, /Kusen puskesmas sudahpun lusuh/ Mengapa tidak diganti dengan segera/ Pasien puskesmas kadang mengeluh/ Mengapa dokter irit bicara/
Tidak tanggung-tanggung wilayah kerja Polisi juga disindirnya lewat pantun
/Ikan tenggiri dan ikan todak/ Ditangkap masyarakat di perairan kepri/ Jika polisi tidak bertindak/ Alamat masyarakat main hakim sendiri/ pantun untuk untuk Polisi juga dibacakan satu lagi /Jangan dicabut pohon trembesi/ Cabut durinya buah kesemak/ Masyarakat takut lapor polisi/ Takut ruginya bertambah banyak/ dan pantun untuk para anggota dewan ia bacakan seperti berikut /Teman dulu zaitun dan maryam/ Teman sekarang Richard dan Clara/ Dewan dulu santun dan pendiam/ Dewan sekarang rebutan bicara/ dan pembacaan pantun yang terakhir masih anggota dewan /Medan dulu tak banyak preman/ Medan sekarang bonekpun berkeliaran/ Dewan dulu tak banyak tuntutan/ Dewan sekarang snack pun dipersoalkan/

Berbeda dengan di Banten, kritik itu muncul bukan dari pemimpin, justru kritik lebih banyak dari masyarakat bawah dengan berbagai tuntutan atas nama ketidakadilan dan ketidakselarasan, apapun bentuknya.
Betapa bahagianya para seniman dan para tamu yang hadir diacara perang pantun tersebut. kita diajak jalan-jalan ke masa lalu lewat pantun. Mengkritik dengan cara sopan tanpa harus menyimpan dendam. Lebih daripada itu, pantun menjadi ciri ketimuran kita, ketimbang saat ini yang segala sesuatunya mesti dibakar atau dirobohkan, memecat atau menjilat, membunuh atau terbunuh. Dengan bahasa pantun, kita dituntun lebih santun dan bahasa mendapatkan tempat yang layak dan berwibawa. Ketimbang bahasa, “modar sira!”, kadek ku aing!” “Tak pateni sira!” dan “ting-bating!” kiranya, demikianlah yang ingin disampaikan Suryatati kenapa ia mau datang ke Banten. Tak lain mengajak masayarakat Banten untuk kembali membaca dan menghargai sastra lewat pantun.

Ada kegelishan penulis di tengah hiruk pikuk Banten dengan ribuan slogan, keadilan, kemakmuran, gratis, percepetan pembangunan dan tetek bengek lainnya. Slogan itu berlalu seiring kekuasaan sudah digenggaman tangan. Kursi-kursi sudah diduduki, proyek dan jatah sudah didata. Kegelisahan itu tak lain, tak ada adanya pejabat yang datang ketika acara ini berlangsung. Selain Toto ST. Radik yang kapasitasnya sebagai sastrawan dan juga Prof. Yoyo sebagai Rektor Unbaja. Pejabat yang lain sibuk dan lelap dalam dunianya masing-masing yang barangkali kesibukannya melebihi kedua orang di atas. Tapi amat sangat yakin para pejabat yang tidak hadir sama-sama juga memikirkan Banten, agar lebih sukses jaya dan makmur. Walaupun surat setingkat bupati dan walikota, juga dinas Pendidikan dan juga kebudayaan sudah dilayangkan undagannya. Ini cermin, betapa wilayah kesenian, kesusatraan dan kebudayaan sangat berjarak dengan para pejabat kita, walaupun sekelas Suryatati A. Manan sekli pun.

Ya, dunia pantun bukanlah dunia hitungan matematik, untung rugi dan kalkulasi devisa negara, apalagi devisa bagi Banten. Bisa dipastikan pantun tidak menguntungkan secara materi. Tapi pantun adalah bagian dari karya sastra lama yang juga menyimpan kearifan para pelakunya, budi luhur dan cermin budaya masyarakat yang memiliki kebudayaan yang tinggi. Hanya Suryatati A Manan lah saya kira perempuan wali kota yang memiliki kecintaan yang tinggi terhadap sastra, hal itu dapat dibuktikan dengan hadirnya beberapa buku yang telah ia ciptakan di antaranya; buku kumpulan puisi Melayukah Aku (2009). Kumpulan puisi Perempuan Wali Kota (2008), Perempuan dalam Makna (2009), Bual Kedai Kopi (tidak diketahui tahun terbitnya), Lembayung di Negeri Pantun (2011). Dan tentu masih banyak lagi.
Pada akhirnya, kecintaan Suryatati terhadap sastra mudah-mudahan dapat juga diambil spiritnya oleh kita semua. Terlebih lagi oleh para pejabat Banten agar santun dalam menyikapi berbagai hal, dan adil dalam bertindak. Selebihnya ayo kita berkarya untuk bangsa!
*) Penulis moderator pada acara Perang pantun dan mahasiswa Pascasarjana Untirta
