Di saat kita berlomba memiliki apartemen atau rumah mewah dengan arsitektur yang bagus dan fasilitas serba canggih sebagai suatu kebanggaan, luas bangunan rumah Kanjeng Nabi ternyata hanya seukuran 4,80 m² x 4,62 m². lantainya hanya tanah liat, sehingga jika hendak rebahan, beliau mesti menggelar pelepah kurma kering sebagai alas yang kerap membekas merah di punggungnya. Langit-langit rumahnya sangat rendah. Meski begitu, beliau tetap membuka pintu rumahnya lebar-lebar kepada siapa saja yang memerlukan uluran tangannya seakan tanpa privasi.

Di rumah itulah, beliau menjahit sendiri baju lusuhnya yang robek (konon pakaiannya hanya tiga helai; Satu dipakai, satu dicuci, satu disimpan), ngesol sendiri terompahnya yang jebol, tak segan membantu istrinya memasak di dapur, menyuguhkan sendiri makanan kepada tamu yang berkunjung ke rumahnya, Annas pembantu setianya yang bekerja bertahun-tahun bahkan mengaku tak pernah sekecap pun mendengarkan Kanjeng Nabi nyawad (mengkritik) pekerjaannya.

Saat kita berburu berbagai tempat kuliner memperturutkan selera makan (berevolusi dari; bisa makan apa nggak? makan apa? makan dimana? hingga makan siapa?). Selama hidupnya Kanjeng Nabi justru tidak pernah kenyang selama tiga hari berturut-turut, kecuali selalu ada hari-hari diliputi kelaparan. Istrinya tak pernah bisa seminggu full menyiapkan menu makan dengan sempurna, kecuali ada saat-saat panjang tak ada secuilpun hidangan tersaji di meja makan rumah tangganya.

Jika sudah begitu, Kanjeng Nabi kerap berpuasa dan memilih mengikat batu-batu kerikil di perutnya agar tidak terlalu tersiksa didera lapar sehingga saat shalat berjamaah terdengar gemerutuk oleh para sahabat saat beliau tengah rukuk atau bersujud.

Bayangkan setingkat Rasul orang nomor satu setaraf presiden, beliau sampai harus menggadaikan pakaian perangnya sekadar untuk membeli tiga puluh gantang gandum dari seorang Yahudi. Bukankah itu contoh nyata bentuk puasa dari nafsu kuasa?

Saat kita mudah tersinggung dan cepat naik pitam ketika dikritik oranglain atau berselisih pendapat, Rasul dengan telaten justru menyuapi bubur gandum kepada kakek buta yang mengemis di bawah pohon yang setiap hari selalu mencaci-maki beliau. Kalau kita yang diperlakukan seperti itu, sendoknya pun mungkin sudah kita weuweulin (masukin dengan paksa) ke mulut sikakek. Tapi Kanjeng Nabi berpuasa dari melakukan hal konyol tersebut. Bahkan beliau menjadi orang pertama yang paling dulu membezoek orang yang selalu melempari beliau dengan kotoran unta di saat orang tersebut terbaring sakit tak ada satupun yang mempedulikannya.

Tatkala setiap negara melengkapi persenjataan supercanggih dan mematikan yang terkadang dipakai untuk membumi-hanguskan negara lain atas nama perebutan wilayah dan kekuasaan. Kanjeng Nabi disetiap pertempuran peperangannya justru selalu berupaya meminimalisir jatuhnya korban sehingga tak pernah melebihi 500 orang.

Please follow and like us:
error36
fb-share-icon0
Tweet 5

ditulis oleh

golagong

Duta Baca Indonesia 2021-2025 - Penulis 125 buku - Motivator Menulis - Pendiri Rumah Dunia