
Adagium yang menyatakan bahwa segala sesuatu berawal dari rumah, rupanya benar adanya. Indra yang tumbuh dari keluarga literat membuat habit membacanya terbentuk dengan baik. Wajar jika di bangku SMP ia mengaku sudah melahap buku-buku berat. Sebut saja misalnya the Rebelnya Albert Camus, Metamorfosisnya Franz Kafka. Sajak sajaknya W.S Rendra.

Jika kita melihat Indra Kusumah sekarang, kita lebih mengenalnya sebagai komikus, kartunis, dan atau pembuat karikatur. Mungkin kita akan bertanya-tanya kuliah di jurusan seni rupakah ia?
Alih-alih kuliah, Indra remaja selulus dari SMA 1 Ciruas yang diharapkan oleh kedua orangtuanya melanjutkan kuliah justru memilih “kabur” menggelandang di wilayah Geger Kalong Bandung selama kurang lebih 2 tahun. Di masa mbambung itulah Indra banyak berinteraksi dengan para seniman atau perupa, ia kerap menikmati karya-karya Popo Iskandar, Jeihan, Barly, dll.

Lewat interaksi intens dengan para perupa jalanan dan kerap mencerap karya-karya para maestro itulah ia terpacu belajar seni rupa secara otodidak. Di samping mengirim drawing ke harian Pikiran Rakyat, ia pun berjualan kaset tape recorder untuk menyambung hidup.
Tahun 2000 hingga 2009 Indra sempat bekerja sebagai ilustrator, wartawan, redaktur halaman budaya, hingga manajer iklan di harian umum Fajar Banten di awal-awal geliat media jurnalistik tumbuh di Banten sebagai provinsi baru saat itu. Setelah keluar bekerja dari media, Indra memilih konsisten mandiri di jalur kesenian yang digelutinya.

Menjadi seniman di Banten menurut Indra butuh perjuangan keras. Karena ranah kebudayaan khususnya di bidang seni rupa menurutnya belum terbentuk ekosistem dengan baik. Barometernya sederhana, jika Banten sudah jadi kiblat atau rujukan seperti Bandung dan Jogya berarti ekosistemnya sudah terbentuk.
