Beruntungnya, Pare punya minuman yang khas untuk meredakan dehidrasi sekaligus mengganjal perut, yaitu es grendul. Saya membelinya saat gerobak es grendul melintas di depan tempat kursus saya Basic English Course (BEC).

Saya memberhentikan dan langsung membelinya. Sekilas memang tidak ada yang luar biasa dari es grendul karena bahan-bahannya pernah saya temui di kampung halaman. Mulai dari bubur kacang hijau, ketan, sumsum, dan biji salak. Sajian itu sangat mudah sekali ditemukan pada saat bulan Ramadan.

Saya bertanya ke penjualnya yang bernama Agus Priyanto. “Apa yang disebut dengan grendul dari es ini?” Agus menerangkan kalau grendul itu diambil dari biji salak, namun penyajiannya divariasikan dengan bubur kacang hijau, sumsum, dan bubur ketan.
Tentu grendul atau biji salak di daerah lain memiliki namanya tersendiri dan mungkin hanya dapat ditemui pada saat bulan Ramadan. Saya bertanya kembali “mengapa harus dicampur dengan bubur yang lain?”

Agus pria berumur 49 tahun itu menjelaskan bahwa orang Pare memiliki kepercayaan kalau makan es grendul akan menambah stamina yang tanpa batas. Dia menunjuk yang menambah stamina adalah bubur sumsumnya.
Sangat disayangkan saat saya bertanya khasiat bahan lainnya Agus tidak bisa menjawab. Saya langsung mengaduk esnya dan mencicipinya. Rasanya sangat segar sekali. Harganya juga sangat murah, yaitu lima ribu rupiah.

Es grendul menurut keterangan Agus tidak banyak dijual di Pare. Hanya ada 6 gerobak saja. Itu pun yang melestarikannya orang luar yang kebetulan mencari nafkah di Pare dan melestarikan makanan khas daerahnya ini.
Saya berharap kepada Agus untuk membuat sendiri es grendul ini agar otentik dibuat langsung oleh orang Pare asli. Namun Agus mengatakan kalau waktunya tidak cukup, dia lebih baik mengambil di Pak Joni pemilik usaha es grendul ini.*


