TAK SEMANIS KOPI
Puisi Gol A Gong
Seorang lelaki berdiri di pinggir kali
hari Jum’at selepas dingin Shubuh
disaksikan jin dan malaikat
menggenggam tali pusar anaknya
“Kau Bimasena, anakku.
Banyak yang membenci,
sebanyak yang menyayangi, ”
dibuangnya ari-ari ke deras sungai
Seorang lelaki mengikuti arus sungai
mengusir ikan-ikan terbentur batu-batu
berperang melawan para pemangsa
memastikan tali pusar anaknya ke samudra
“Anak kita akan menagih janji, wahai lelakiku.
Mencari tali pusarnya ke ujung dunia,”
perempuannya mengaji menyusui.
Seperti pohon mereka menyirami
aku tumbuh ke luas samudra
menimbang masa depan sendiri
buku berdebu di perpustakaan
kuingat betul kata Bapak, “Hidup
harus diperjuangkan dengan martabat.”
Kunikmati kenangan itu
dengan segelas kopi plastik
bergambar artis di televise
di halaman rumah kelahiran
masa kecil ayunan Nenek
dongeng pilu Emak
“Jangan jadi tengkulak kopi, jika
tak bisa mencampurnya dengan gula,”
itulah wasiat Emak
Di halaman usang berikutnya
tak ada ilalang di pusara Kakek
wejangan Bapak tertimbun tanah
jalan tol membelahnya
“Silahkan dihirup harum Cappuccinonya,”
katamu mengagetkan. “Sebentar lagi malam
akan tidur. Tak ada lagi kopi manis diseduh.”
Ribuan bulan kumenuliskannya di koran
dengan bergelas kopi plastik
*) Purwakarta 25 Maret 2008