Kamu bisa bayangkan sendiri, bagaimana mungkin seorang wanita tidak ingin menjadi seorang Ibu? Sangat menarik untuk ditelusuri. Itu pikirku saat awal membaca judul buku ini.
Apalagi? Sinopsisnya. Ya, sinopsis dalam sebuah buku sangat penting untuk menghipnotis pembaca agar tertarik membaca buku tersebut. Sinopsis dalam buku ini dimulai dengan sebuah kalimat ironis. Begini bunyinya, “Bagaimana rasanya menjadi seorang anak yang kelahirannya justru tidak diinginkan oleh kedua orang tuannya?”
Awal kalimat yang sangat powerfull menurutku. Aku yakin, setiap manusia yang memiliki luka pada masa kecil atau di zaman ini disebut dengan inner child, akan meronta-meronta jiwanya saat membaca kalimat ini. Aku juga memiliki luka masa kecil. Entahlah, mungkin semua manusia memiliki luka masa kecil. Tidak ada keluarga yang dari awal cemara atau tidak selamanya sebuah keluarga menyandang keluarga cemara.
Bagaimana alur cerita dalam buku ini? Aku sangat terkejut dengan orang tua dalam buku ini.
Mereka benar-benar orang tua yang sangat tidak diharapkan untuk menjadi orang tua. Alur ceritanya terus maju. Dan setiap bab memiliki sesak. Sesaknya menjadi anak yang selalu dianggap anak durhaka, anak yang tidak diharapkan dan anak yang selalu dibandingkan oleh kakak-kakaknya. Sangat menyesakkan.
Bukan hanya satu atau dua bab. Melainkan setiap bab tokoh utama merasakan demikian. Siapkan hati yang kesal, haru, marah, tangis, sedih. Kamu akan dibuat nano-nano saat membaca novel ini, dan, tidak ada satu bab utuh penuh bahagia. Dalam membaca buku ini. Aku mendapatkan tiga pelajaran. Ini versi diriku, let’s go…
Pertama: komunikasi. Dalam menjalani bahtera rumah tangga, komunikasi menjadi hal yang penting. Komunikasi kepada pasangan. Komunikasi kepada anak. Haruslah dilandasi dengan kesadaran penuh kalau yang kita ajak berkomunikasi adalah keluarga. Keluarga yang menemani kita dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Jika sesama personil kapal komunikasinya tidak berjalan lancar, maka bahtera itu akan mudah koyak dan rusak saat dihadapkan oleh ombak dan badai. Bahkan, kapal itu kandas di tengah jalan dan gagal mencapai tujuan.
Kedua: jalani apa yang kamu sukai dan pilih. Kadang, sebagai orang tua, pasti ingin sekali membuat anaknya menjadi anak yang lebih dari orang tuanya. Lebih bahagia, lebih sukses dan lebih segalanya. Sehingga, orang tua terlalu ikut campur dengan keputusan-keputusan seorang anak.
Orang tua juga kadang tidak mampu melihat potensi yang dimiliki oleh anaknya sehingga menyebabkan keributan antara orang tua dan anak. Orang tua inginnya A, tapi anak memiliki keinginan B. Kadang, ketika anak menyampaikan keinginannya, orang tua keras kepala dengan keinginannya. Kalau begini repot. Seorang anak akan segan sekali menolak keinginan orang tua, sehingga dia menjalaninya dengan ketidaknyamanan.
Menurutku, sampaikan keinginanmu dengan baik kepada orang tuamu. Sampaikan saja mengapa kamu memilih jalan ini kepada orang tuamu, semoga Allah membuka hatinya. Kemudian berikan bukti yang konkrit kalau kamu benar-benar serius dalam keputusan yang kamu pilih. Fokus, dalami, jadilah ahli.
Ketiga: Berdamai dengan inner child. Saat kamu memiliki luka pada masa kecil, cobalah untuk terus berdamai dengan rasa itu. Ini memang tidak mudah, tapi teruslah untuk dilakukan. Jika dirasa sulit melakukannya sendiri, cobalah ke ahli untuk minta bantuan dalam berdamai dengan hal ini. Kamu selalu bisa untuk berdamai, mengambil langkah-langkah dalam hidupmu tanpa beban luka masa kecilmu.
Kamu selalu bisa melaju walau masih terseok dengan inner child. Kamu selalu bisa untuk berprestasi, melakukan banyak hal, dan bermanfaat orang lain. Kalau nanti Allah izinkan kamu menjadi orang tua, pastikan bahwa anakmu tidak akan mendapatkan luka masa kecil sebagaimana yang kamu rasakan saat menjadi anak. Pastikan bahwa anakmu terbebas dari hal itu. Untukmu, terima kasih sudah bertahan.
Buku ini minim typo, bahkan aku tidak menemukannya. Atau mungkin aku terlewatkan? Entahlah. Untuk sebuah drama keluarga, buku ini cukup bagus untuk dibaca.
Buku ini akan memberikan kesadaran dalam memperlakukan seorang anak dan bagaimana menjadi orang tua dengan sudut pandang yang menurutku, menakutkan. Kamu yang memiliki luka masa kecil akut, ini akan membawamu pada salah satu bacaan terburuk. Kalau aku bisa kategorikan, buku ini minimal batas bacanya, 17+.
Karena kalimat-kalimat yang digunakan tidak baik. Memang tidak terlalu vulgar, tapi menurutku, kata-katanya ‘kasar’ jika dilihat dengan sudut pandang orang tua yang memiliki anak. Kekurangan dalam buku ini adalah ending yang sat set sat set. Pembaca seakan diajak untuk ngebut sekali menuju ending.
Begitulah resensi buku kali ini. Kamu tertarik membaca bukunya? Atau sudah membaca bukunya?
*) Rowan adalah peserta Kelas Menulis Rumah Dunia.
RAK BUKU mulai Mei 2024 tayang dua minggu sekali, setiap hari Rabu, gantian dengan FIKSI MINI. Rak Buku adalah resensi buku. Terbit setiap Rabu. Upayakan tulisannya membangun suasana lokasi membaca, personal literatur. Boleh juga menulis seperti catatan perjalanan. Panjang tulisan 500 hingga 700 kata. Honor Rp. 100 ribu. Terbit setiap hari Rabu, 2 mingguan bergiliran dengan resensi film di Layar Bioskop. Sertakan foto diri, bio narasi singkat, identitas buku, nomor WA, rekening bank, foto-foto cover buku, penulisnya sedang membaca bukunya. Kirim ke email golagongkreatif@gmail.com dengan subjek: Rak Buku.