
Langit kota metropolitan serasa sesegukan, kalap dengan kisah yang rumit, jika bisa menangis mungkin saja langit itu akan membanjiri wilayah ini dengan airmatanya.
Suasana itu mengiringi luka yang dirasakan oleh keluarga besar Mustova, bagaimana tidak, sosok bidadari surga mereka berpulang, kembali dan takkan pernah kembali menemui mereka di dunia ini.
Senja menjadi saksi pilu kepergian seorang yang akrab mereka panggil mamah. Pukul enam sore di hari Selasa, semua orang berdatangan dengan muka yang aneh, sembab bahkan muram, orang yang terkasih meninggalkan mereka menuju Sang Pengasih, Tuhan Robbul Izzati.

Aku termenung dengan keheranan, rasa-rasanya baru kemarin aku menemuinya, walau dalam keadaan sambil berbaring, ia masih sempat-sempatnya menyapaku dan menebar senyum bahagia, tanda supaya aku tidak mencemaskannya.
Hari ini berbeda, senyuman itu lenyap seketika, terbang bersama awan yang cerah di langit sana. Bersama sinar mentari yang begitu hangat, meresap kalbu, aku yakin semua orang merasakannya, hangat yang lama-lama menusuk bahkan bisa saja membakar kulit.
Bukan karena panasnya, tapi karena sosok dan kenangannya yang hangat dan melekat. Perginya tidak main-main, bak membakar jiwa dan raga saja.

