“Ma, mau masak apa?” Riki bertanya.
“Bikin nasi goreng saja, ya? Kan sudah tidak ada lagi makanan mentah untuk dimasak untuk makan malam, hanya tersisa bumbu penyedap rasa.”
Riki tidak menjawab, menganggukkan kepala pun tidak, hanya berpandangan mata sendu.
Takhirau pada Riki, Aini menekan tombol penyala api di kompor gas, lalu digeser ke arah kiri. Api pun menyala—berwarna kemerahan—tidak biru—pertanda isi gas di dalam tabung tinggal sedikit.
“Semoga memasak nasi goreng bisa sampai matang, tidak kehabisan gas ya, Nak?”
“Tinggal beli lagi gasnya, Ma.”
“Semoga nanti ayah sepulang bekerja, dapat uang. Sepertinya ayah—yang kata tetangga-tetangga—seorang karyawan yang jujur, akan telat datang karena lembur.”
Riki sudah tidur, lelap, di lantai dua kamar atas rumah minimalis, di perutnya terdiam mainan robot.
Aini di kamar lantai bawah, duduk dengan kaki berselonjor di kasur tanpa ranjang, punggung menempel ke dinding. Seraya menunggu suami—Rudi—seperti sore tadi, tangannya memegang kertas berisi catatan utang. Jelas terlihat dari kedua mata Aini, menyorotkan pandangan lelah.
Dua minggu lalu, Aini dan Rudi telah sepakat akan menjual satu-satunya laptop. Terngiang kembali di telinga Aini ucapan Rudi, “Apa boleh buat. Kita malu, sudah seharusnya malu, utang-utang sudah lebih dari sebulan belum juga dibayar.”
Aini ketika itu bingung, bila laptop dijual, hasil penjualan tentu untuk membayar utang—nantinya akan kelabakan mencari laptop lagi karena uang sudah banyak terpotong.
Suami-istri ini juga telah berkali-kali berdiskusi dengan segala kemungkinan yang akan terjadi bila laptop jadi dijual. Harapan utama tentu mendapatkan kembali laptop walaupun bekas, walau dengan produksi tahun yang lebih lama, atau malahan harus ada beberapa yang diperbaiki.
Suara deru motor membuat Aini tergesa beranjak dari kasur, gegas ke pintu depan. Ya, Aini sudah tahu suara deru motor honda supra x milik suaminya.
Aini membukakan pintu, Rudi bermuram durja.
Sudah menginjak bilangan satu minggu, laptop Rudi diiklankan di media sosial. Berkali-kali calon pembeli datang melihat-lihat laptop sekaligus bertanya harga lalu menawar dan dengan pengecualian: ada yang juga tidak menawar sama sekali.
Pada Minggu sore, Rudi tertarik pada seorang penawar dengan harga tertinggi: dengan selisih paling besar di antara calon pembeli, harga tidak begitu jauh saat dua tahun lalu membeli laptop yang sudah bekas itu. Penawar itu seorang lelaki dari kota. Transaksi pun terjadi.
Raut muka Rudi sedih, masih menyempatkan melontarkan satu ucapan pada pembeli itu. “Aku kini jadi pengarang nganggur.” *
Bandung, Juli 2024
TENTANG PENULIS: Gandi Sugandi. Penulis alumnus Sastra Indonesia Unpad tahun 2000. Saat ini bekerja di Perum Perhutani, Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Bandung Selatan. Akun medsos : Facebook https://web.facebook.com/gandi.sugandi.7564 , Instagram https://www.instagram.com/gandi.sugandi.7564/ , Alamat email : gandisugandi015@gmail.com. Buku Kumpulan cerpen yang sudah terbit: 1. Keluarga Seni