
Kayak aku waktu naik Sikunir, Dieng, Wonosobo, sampai berpikir apakah bukit ini punya puncak? Mengapa aku tidak juga sampai? Hahaha.
Tahun 2017 kami sekeluarga minus si sulung naik Sigra putih kesayanganku, keliling Pulau Jawa untuk acara Gempa Literasi. Rute perjalanannya mirip angka delapan, dan ditempuh selama sebulan lebih. Kerjaan kami bikin acara literasi dan mengunjungi taman baca yang dikelola teman-teman pegiat literasi.
Sampai di Wonosobo, bersama teman-teman di sana kami mlipir ke Dieng. Anak-anak antusias naik Bukit Sikunir. Aku juga mau, dong, cuma bukit ini, bukan gunung.

Namun, aku kehilangan momen lihat matahari terbit karena berjalan seperti kura-kura. Perlahan dan banyak berhentinya. Hahaha. Astaghfirullah.
Hubby juga merelakan kesempatan melihat fajar karena memilih menemaniku yang sendirian. Oh, so sweet. Beberapa kali kusuruh jalan duluan. Beberapa kali beliau berjalan lebih dulu, tapi ternyata berhenti di atas dan menungguku tiba. Masya Allah, tabarakallah, allahumma baarik ‘alaih. Makasih, hubby.
Itu semua karena aku menjaga kewarasan engkel kaki kiriku yang bermasalah sejak dulu jika diajak jalan menanjak. Mungkin begitu takdir terbaik buat kakiku, yang pernah jatuh saat masih sekolah dasar.
Kalau tidak, mungkin saja aku akan bergabung dengan Basarnas seperti impian masa kecilku. Mungkin saat ini aku sedang mendaki gunung lewati lembah, sungai mengalir indah ke samudera, bersama teman bertualang.
Tias Tatanka

