Oleh: Neyza Nur Eisyah Agisti
Matahari terik menyengat kulit, pasir pantai putih berkilauan di bawah sinar mentari. Di tengah hiruk pikuk pasar tradisional di Anyer, seorang pemuda bernama Arya, dengan langkah gontai, menenteng sebuah kendi tanah liat yang tampak usang. Kendi itu dibungkus kain batik tua, warnanya pudar, namun tampak terawat.
“Arya! Kau sudah mendapatkannya?” Suara seorang wanita paruh baya, berwajah tegas, memecah kesunyian. Itulah Ibu Suri, pemimpin keluarga Arya, yang juga merupakan keturunan langsung dari Kesultanan Banten.
Arya mengangguk, wajahnya pucat pasi. “Sudah, Ibu. Tapi…”
“Tapi apa?” desak Ibu Suri, matanya tajam menatap Arya. “Jangan berlama-lama. Kita harus segera kembali ke istana.”
Arya terdiam, tangannya gemetar. “Ibu, airnya… airnya tidak seperti yang dikisahkan.” Ibu Suri mengerutkan kening. “Apa maksudmu?”
“Kendi ini… kosong, Ibu. Padahal, menurut cerita, air suci Kesultanan Banten ini tak pernah habis, bahkan setelah berabad-abad.”