Berkali-kali aku ke Semarang. Dan Simpang Lima selalu menarik-narikku. Selain alun-alun, Gramedia, masjid agung, juga nasi liwet Bu Surip. Puisi di bawah ini aku tulis 11 tahun lalu. Bacalah:

Gol A Gong
SIMPANG LIMA

Simpang Lima di senja berkarat
dari retak gedung
mengintai kopi putih luwak
berkejaran dengan masjid
menumpahkan air ke jalanan.

Mengejar perih adzan
berjejer wajahmu terluka
di trotoar berlubang

“Apakah hari ini aku
sudah sempurna
seperti keinginanmu?”
tangis Khotib di mimbar.

Menuju bising selatan
kopi dorong dijajakan
diseduh senyum kopi pabrik
orang-orang ke selokan
melemparkan gelas plastik

“Sudah bukan purnama lagi,”
aku kehilangan jalan pulang
tak serupiah pun kudapat.

*) Semarang, 19 Juli 2013

Tak ada puisi yang jelek. Tapi yang ada adalah puisi yang lahir dari pengalaman puitik penyairnya. Puisi “Simpang Lima” ini terkumpul di buku puisi Air Mata Kopi (Gramedia 2014) dan masuk 10 besar Hari Puisi Indonesia, 2014.

Please follow and like us:
error64
fb-share-icon0
Tweet 5

ditulis oleh

golagong

Duta Baca Indonesia 2021-2025 - Penulis 125 buku - Motivator Menulis - Pendiri Rumah Dunia