Semua mata kuliah hari itu sudah selesai. Aku langsung bergegas menjemput pacarku yang memang beda Fakultas dan Jurusan itu. Sebenarnya aku masih kecewa dengan jawabannya kemarin, aku memasang wajah cemberut ketika bertemu dengan Diah, pacarku. Namun siang itu aku terus memaksanya agar dia mau menemaniku mengerjakan tugas penelitian ke Keraton Kaibon yang ada di Daerah Kroya, Kelurahan Kasemen tersebut.
“Kenapa kamu terus memaksaku, Beni. Walaupun memang kau adalah pacarku, bukan berarti aku harus selalu menuruti semua permintaanmu, kali ini aku tidak bisa menemanimu.” Diah langsung memalingkan wajahnya. Ada perasaan kesal yang berusaha ditahan.
“Kenapa kau malah memarahiku, Diah. Padahal bukan gitu maksudku, kalo kamu keberatan ya engga papa, aku akan mengajak temanku yang lain untuk pergi ke sana. Bagaimana Diah?” Tiba-tiba saja aku mengagetkan lamunannya.
Awalnya Diah terlihat jengkel karena aku terus memaksanya ikut ke sana, akhirnya walaupun dengan muka merengut dia menyetujuinya.
“Untuk kali ini saja, ya. Ayo kita pergi!” jawabnya mengejutkanku.
Angin sepoi-sepoi dan lalu lalang kendaraan menyertai perjalanan kami yang seketika beku itu. Setibanya di parkiran, Diah masih memperlihatkan raut yang terus membuatku bertanya-tanya, namun aku malas sekali jika harus membuatnya marah lagi. Yasudah aku berusaha mengalihkan pada pembicaraan yang lain.
Sambil asyik berbincang kami sampai juga di depan gerbang utama yang disebut Bentar. Ada lima pintu di hadapan kami, namun kami memilih masuk lewat pintu terdekat. Seketika langkahnya terhenti ketika sudah masuk ke halaman kedua yang menunjukkan sebuah bangunan tempat tinggal. Sorot matanya menelisik ke setiap sudut tempat itu. Kulihat ada butir air mata yang memaksa keluar walaupun berusaha ditahan.
Aku menatapnya sungguh-sungguh. Penuh dengan perasaan iba dan raut penasaran. “Kenapa kau menangis?” Aku mengusap air mata di wajahnya. Betapa anehnya wanitaku ini.
Tanpa ada jawaban yang keluar dari mulutnya membuatku bingung. “Aku merasa tidak enak denganmu karena memaksa untuk menemaniku ke tempat ini, apa ada yang salah dengan tempat ini?”
Akhirnya karena tak tega melihat Diah terus menangis, aku langsung mengantarkannya pulang. Tanpa sedikit katapun keluar dari mulutnya, aku terus memperhatikan wajahnya lewat kaca spion sebelah kiri motorku.
***
Diah sebenarnya merasa tidak enak dengan kekasihnya itu. Pasti beribu pertanyaan memenuhi pikirannya. Belum sempat mengerjakan tugas penelitian, Beni harus pergi meninggalkan tempat itu untuk mengantar pulang kekasinya yang menangis tanpa diketahui apa penyebabnya.
“Maafkan kekasihmu ini Beni, pasti kau bingung kenapa tiba-tiba aku menangis ketika melihat tempat itu. Mungkin bagi orang lain ini hanya sebuah tempat biasa, kawasan bersejarah yang memiliki historis peninggalan kesultanan Banten. Tapi, bagiku tempat ini juga menyimpan historis dalam kisah percintaanku dengan kekasih pertamaku dulu. Kau mengajakku ke sebuah tempat yang sebenarnya aku hindari selama ini.” Diah ucapkan dalam hatinya, sambil melamun melewati jalanan dengan motor yang dikendarai kekasihnya itu.
“Ceritaku belum selesai, Beni. Aku hanya tidak ingin kisah dulu terulang kembali. Apakah kau tahu, aku selalu menutup mata jika melewati tempat ini, ingatan itu bisa sewaktu waktu membuatku seperti bunga yang layu di sebuah Taman. Tempat itu menyimpan kenangan indah, tapi jika aku sedikit saja tersiram air hujan di masa lalu, kenangan itu seolah menusuk palung hatiku.”
***
Tanpa sepengetahuan Diah, aku menghubungi Ami dan mengajaknya bertemu di Keraton Kaibon.
“Lihat tempat ini, apa ada yang salah, Ami? Berharap Ami memberikan jawaban yang jujur.
“Aku sudah tau, kenapa kau mengajaku ke tempat ini, Beni. Ada hal yang sebenarnya tidak ingin aku ceritakan kepadamu. Tapi janji ya, jangan sampai Diah tau aku yang menceritakan ini semua kepadamu. Tempat ini pernah menyimpan kenangan indah, sekaligus duka buat Diah. Keraton Kaibon adalah tempat yang sering mereka kunjungi, ini menjadi tempat terakhir kalinya mereka bertemu sebelum berpisah karena kecelakaan yang menimpa kekasih pertama Diah. Tempat ini, Buku Sejarah Keraton Kaibon yang ditulis kekasihnya, dan surat yang berisikan puisi karya Sapardi yang diberikan kekasih Diah seolah menjadi kado perpisahan yang tidak mungkin dilupakannya. Kejadian naas itu terjadi tepat sekali setelah mereka pulang dari tempat tersebut.” Ami kembali menatap wajah kekasih sahabatnya itu.
“Itu sebabnya Diah enggan mengunjungi tempat ini, karena dia takut kejadian memilukan itu terulang kembali pada kisah denganmu, Beni. Dia khawatir dengan mitos, jika sepasang kekasih mengunjungi tempat itu biasanya tidak akan berjodoh. Entah dipisahkan oleh kematian atau bukan.”
Tulisan ini adalah hasil dari Workshop Menulis Cerpen untuk Pemuda Kota Serang yang diselenggarakan Rumah Dunia bekerjasama dengan Badan Bahasa Kemendikbudristek pada Sabtu, 12 Oktober 2024.