Aku menemukan informasi soal pendakian Gunung Agung pada bulan September di sebuah grup komunitas. Setelah berpikir beberapa kali, aku akhirnya bergabung. Wajar saja, melakukan pendakian tentu bukan hal sembarang. Perlu ada pertimbangan dan persiapan yang matang. Tak hanya fisik dan mental, memiliki rekan pendakian yang tepat juga merupakan hal yang vital.
Sayangnya di hari H, orang yang aku kenal dan menginisiasi pendakian ini justru berhalangan ikut. Jujur saja, aku agak khawatir karena belum pernah bertemu dengan pendaki yang lain. Tapi aku bisa melihat relasi mereka dengan para pendaki di grup sehingga aku tahu mereka bisa dipercaya. Pendakian pun tetap kami rencanakan hari Sabtu dan Minggu dengan satu malam untuk berkemah.
Pendakian Hari Pertama
Pada hari Sabtu siang, 14 September 2024, aku berkendara sendirian menuju base camp pendakian yaitu Pura Pengubengan, Karangasem. Lokasinya tidak begitu jauh, dekat area Pura Besakih. Butuh sekitar satu setengah jam untuk sampai ke lokasi dari rumahku. Aku sangat menikmati perjalanan dengan motor karena pemandangan jalan pedesaan yang masih asri dengan pepohonan di kanan-kirinya. Dalam hati aku berharap bahwa keindahan alam ini akan terjaga lebih lama.
Sesampainya di Pura Pengubengan, sudah ada beberapa kendaraan pendaki yang terparkir. Kebetulan sekali ternyata aku tiba berbarengan dengan beberapa teman dari rombonganku. Kami berkenalan dan mengobrol ringan sambil menunggu yang belum datang.
Ada delapan orang pendaki di rombonganku. Empat perempuan dan empat laki-laki. Bonus, ada seekor anjing pudel di rombongan ini yang bernama Milo. Seperti namanya, ia punya bulu berwarna coklat susu. Bulunya begitu lebat dan terasa empuk di tubuhnya yang tak terlalu besar. Milo benar-benar lucu seperti boneka.
Sebelum kami mulai mendaki, ada suatu hal yang cukup mengusik kami. Kami mendengar dari para pendaki yang baru turun bahwa mereka gagal mencapai puncak karena badai angin sejak kemarin. Keluhan itu terus kami dengar bahkan ketika kami sudah mulai mendaki.
Sejujurnya ada perasaan khawatir dalam hatiku. Aku tidak ingin pendakian ini terasa sia-sia karena tidak bisa sampai puncak. Namun di sisi lain aku perlu belajar bahwa mendaki bukan soal mencapai puncak saja tapi keselamatan yang paling utama. Aku pun mesti belajar untuk menghadapi kondisi alam yang tak terduga.
Kami mulai pendakian sekitar jam dua siang setelah membayar tiket sebesar Rp50.000 per orang. Pos 1 kami capai dengan semangat yang masih penuh. Kami berhenti beberapa kali, untuk makan dan istirahat. Aku pun sempat tertidur sebentar karena mulai merasa lelah.
Ada momen ketika aku mengalami mood swing. Aku yang sejak tadi berusaha optimis bahwa badai akan reda mulai merasa hilang harapan. Semangatku rasanya terjun bebas. Optimisme yang berusaha aku jaga perlahan meluruh. Perjalanan menuju Pos 2 ternyata lebih panjang dan sepanjang itu pula kami makin sering mendengar pendaki lain yang gagal ke puncak.
Beberapa menit berikutnya, seperti anugerah yang jatuh dari langit, kami melihat keramaian area kemah. Kami tiba di Pos 2! Tidak bisa aku gambarkan betapa senangnya aku saat itu, rasanya seperti mendapat lonjakan energi dan mood-ku berubah drastis.
Meski berhasil sampai di Pos 2 memberi kami bakaran semangat, ternyata kami tidak mendapat tempat untuk berkemah di pos itu. Areanya sudah penuh, tidak cukup bagi kami mendirikan tiga tenda. Kami pun harus melanjutkan perjalanan.
Jalur yang awalnya dipenuhi pohon, kini mulai berbatu. Hari sudah gelap dan udara semakin dingin. Deru angin di atas sana memang terdengar kencang, menimbulkan suara berisik dari pohon-pohon yang bergesekan. Tapi saat itu perasaanku sudah tidak ngotot soal puncak lagi, yang terpenting adalah perjalanan ini kami lalui dengan selamat.
Kak Budi dan Kak Liong, yang merupakan pendaki yang sudah berpengalaman akhirnya menawarkan diri untuk berjalan lebih dulu. Mereka akan mengecek apakah di depan ada tempat berkemah sementara kami boleh beristirahat dulu. Syukurnya, beberapa menit kemudian mereka datang membawa kabar baik bahwa sekitar 15 menit lagi ada tempat berkemah.
Areanya cukup luas dan hampir tak ada lagi pendaki lain yang melintas kecuali kami. Kami bergegas mendirikan tenda, menyiapkan tempat kemah ini agar nyaman. Kami mulai lapar dan mengantuk. Aku lega sekali karena punggungku akhirnya bisa istirahat dari tas carrier yang berat.
Setelah sedikit memasak dan membuat minuman hangat, kami makan dan mengobrol ringan. Momen seperti inilah yang akhirnya membuat kami menjadi lebih akrab. Beberapa dari mereka membicarakan pengalaman mereka mendaki. Kami juga mengobrol soal para pendaki yang masih kerap meninggalkan sampah di gunung. Kami sangat menyayangkan hal tersebut dan berharap para pendaki bisa lebih peduli dan bertanggung jawab.
Obrolan kami hentikan karena sudah hampir larut malam, kami lelah dan harus mengumpulkan energi untuk besok. Kami menyadari bahwa deru angin sudah tak terdengar lagi, timbul harapan bahwa badai sudah reda dan perjalanan kami besok akan lancar. Aku kembali bersyukur atas itu.