Saya betul-betul tidak menyangka ketika Rudi Rustiadi membelokkan mobil dinas Duta Baca Indonesia ke kiri, menuju desa Keranggon. Kalau kita dari Pasar Lama Kota Serang menuju Banten Lama, sebelum jembatan Kasemen, belok kiri. Ini tempat saya menjelajah saat di SMA, tahun 1980-an. Nanti tembusnya ke Tasikardi, Banten Lama. Dulu masih berupa tegalan, sawah, hutan-hutan kecil, lio – pembakaran batu-bata.
Saya semakin kaget, karena ada perumahan yang dulu dikenal dengan sebutan RSS (Rumah Sangat Sederhana), kemudian setelah sekitar 2-3 kilometer, ada semacam enclave (kantung) yang menyebarkan cahaya kebaikan seluas 13.000 meter persegi. Seperti kalau kita melihat orang yang rajin salat 5 waktu, wajahnya bercahaya – menyerbarkan aura positif karena sering dibasuh air wudhu.
Saya diajak Tias Tatanka – istriku yang cantik – ke sini. “Pah, Forum TBM Kota Serang mau piknik. Wisata literasi ke TBM Ummatan Washaton.” Saya mengiyakan sambil bertanya-tanya, seperti apa TBM yang kata istriku dibilang lebih luas dari Rumah Dunia.
“Luasnya satu hektar lebih, Pah! Unit usahanya bakso cuangki!” Hmmm, cuangki – cari uang dengan kaki! Dan betul, saya cuma bisa melongo. Pasti yang mendirikan tempat ini bukan warga dari Banten. Tidak jauh dari sini ada irigasi menuju Tasikardi – peninggalan Sultan Ageng Tirtayasa.
Baca juga Literasi Keuangan TBM Ummaton Washaton di sini.
Kedatangan kami – saya, Rudi, Tias, dan Naufal (relawan Rumah Dunia) disambut Asran. Penampilannya khas orang kebun, tapi dia sarjana Pertanian. Kemudian kami dibawa ke gedung Balai Rakyat Indonesia – yang dibangun dari dana zakat karyawan Bank BRI. Saya tertegun, rasa kagum yang tak bisa kuungkapkan. Saya dan relawan Rumah Dunia harus belajar ke sini.
Kami bersama Forum PD TBM Kota Serang – Bu Risna, Hj Suheti, Ajar, Lidya (Duta Baca Kota Serang) dkk duduk lesehan menikmati bakso dan tahu cuangki. Nikmat. Apalagi sambil mendengar cerita perjuangan dan perjalanan panjang yayasan dari 3 orang pendiri – Nuriman, Eko, dan Asran. Saya geleng-geleng kepala. Para “domba Garut” yang membuat kami kagum. Perjalanan mereka penuh liku, tapi semua diselesaikan Allah SWT. Sejak 2010 hingga kini, 2024, mereka diterima masyarakat di kampung ini.
Setelah menikmati hidangan bakso tahu cuangki, kami berkeliling menjelajahi areal seluas 13.000 meter persegi atau 1,3 hektar. Ada Balai Rakyat Indonesia yang menghadap lapangan sepakbola dengan rumput hijau, masjid, madrasah, rumah pengurus yayasan, bengkel gerobak cuangki, pasar mini, ruang produksi bakso dan tahu, serta tempat pemotongan ayam. TK/PAUD, ruangan paket A, B, dan C. Pasar mini ini jadi destinasi masyarakat, bagian dari literasi budaya dan kewargaan untuk belanja kebutuhan pokok yang murah.
“Anak-anak kami sekolah di sini. Kami pengajarnya,” kata Nuriman, alumnus UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Ada 17 pengurus yayasan tinggal di sini.
Pekerjaan rumahnya di literasi digital. Eko yang sarjana bisnis di Jakarata sedang merencanakan podcast. Kalau jualan online produk bakso tahu cuangki sudah anak-anak mereka lakukan di medsos. Untuk internet, mereka punya antena sendiri. Literasi numerasinya perlu dimaksimalnya karena
Kekagumanku kepada para perintis dari Garut ini seperti ombak lautan. Ada literasi baca-tulis, literasi keluarga yang sehat, literasi digital, literasi keuangannya menyatu dengan literasi budaya dan kewargaan dalam memberdayakan masyarakat dengan jadi penjual cuangki. Ada sekitar 100-an lebih pedagang cuangki di Serang dan Cilegon yang mereka bina. Barangkali kita jadi pelanggan mereka.
Ini link videonya: