Ketika kecil, 1974, aku pulang ke rumah dengan wajah sedih. “Kenapa?” tanya Bapak. Aku diledek buntung oleh kawan-kawan kecilku saat main kelereng. Dengan satu tangan, mereka meledek, mana bisa aku main kelereng. Aku sudah dilatih Bapak main kelereng di CBZ – RS Cipto, seminggu sebelum pulang. tadinya dengan jempol tanganku, tapi kurang terarah. Akhirnya lebih mahir dengan jari tengah.
Bapak mengomentari, “Kamu memang buntung. Jika sedih, itu yang diinginkan kawan-kawanmu. Mulai sekarang, kamu harus tersenyum menyikapinya agar kesan yang tertanam itu positif. Dan supaya senyummu kuat, harus diisi dengan prestasi.” Begitulah Bapak. Aku akui, waktu itu sedih sekali. Bapak tidak mengerti perasaanku, kesedihanku.
Tapi akhirnya aku mengikuti arahan Bapak. Setiap bada subuh, aku jogging mengitari alun-alun. Sepulang sekolah dilatih Bapak main badminton dengan satu tangan. Kemudian di setiap waktu luang, saya harus membaca. Ternyata membaca membawaku bertualang ke mana-mana. Terakhir, sebelum tidur Emak bercerita. Hidupku jadi penuh warna, bersemangat, dan penuh imajinasi.
Gol A Gong