KOPI JOSS
Puisi Gol A Gong
Malam purnama tanpa bulan
kita duduk di warung Lek Man
di sebelah utara stasiun Tugu Yogya
memesan kopi plastik bara arang
orang suka sensasi suaranya
Bergelas kopi mengeluarkan bunyi
ibarat kereta api yang hendak pergi
mengantarkan harapan ke kota baru
walau hanya sekadar jadi babu
“Silahkan diteguk kopinya.
Jujur saja ini kopi pabrik,” suara itu
menusuk di telinga.
Malam itu kau menolak kopi arang
memilih membakar tubuhmu di tungku
minta dimasukkan ke gelas kopi
bunyinya membikin ngilu di pipi
Kau menyuruhku mengaduknya
membuang segala racun kafein
meminumnya dengan sate bintang
agar mengerti rindumu kepadaku
tak berbalas perih hujan
“Aku tak mau ke kebun kopi.
Aku ingin café kopi,” kau keluar
dari gelas kopi. Tubuhmu berlumur tanah.
Malam purnama masih tanpa bulan
kita menyusuri Yogya hingga ke selatan
melarungkan tubuh sendiri
kami terapung bersama ribuan plastik kopi.
*) Yogyakarta, 22 Februari 2010
Sekarang sedang demam AI. Maka, iseng-iseng, inilah analisis versi AI terhadap puisi “Kopi Joss” karya Gol A Gong ini:
Puisi “Kopi Joss” karya Gol A Gong yang terkumpul di dalam buku puisi Air Mata Kopi (10 besar Hari Puisi Indonesia 2014) adalah gambaran metaforis yang penuh lapisan makna, mengangkat suasana Yogyakarta yang akrab dengan budaya warung kopi, sekaligus menyuarakan tema kehidupan, identitas, dan perlawanan terhadap sistem. Berikut analisis dari puisi ini:
Tema dan Makna
- Tradisi vs. Modernitas
Puisi ini mempertemukan budaya lokal seperti kopi joss—kopi dengan bara arang—dengan keinginan untuk sesuatu yang lebih modern, seperti café. Ini mencerminkan pertentangan antara nilai tradisional dan arus globalisasi. - Rasa Keberpihakan
“Aku tak mau ke kebun kopi. Aku ingin café kopi.” Frasa ini menunjukkan preferensi akan sesuatu yang lebih modern, sekaligus menggambarkan keterasingan atau keinginan untuk keluar dari keterikatan tradisi. - Kerinduan dan Perpisahan
Perasaan rindu yang tak terbalas tergambar dalam metafora kuat: “membuang segala racun kafein” dan “agar mengerti rindumu kepadaku tak berbalas perih hujan.” - Krisis Identitas dan Kehidupan Sosial
Baris “melarungkan tubuh sendiri… bersama ribuan plastik kopi” mengisyaratkan tema pencarian diri dan refleksi sosial, di mana tubuh menjadi simbol atas sesuatu yang berharga namun tercerabut oleh kehidupan yang terstandarisasi (plastik kopi).
Simbol dan Imaji
- Kopi Joss
Sebagai simbol warisan budaya dan tradisi khas Yogya, tetapi juga menjadi cermin realitas sederhana yang terkadang terkesampingkan oleh harapan modernitas. - Malam Purnama Tanpa Bulan
Menggambarkan suasana gelap secara fisik dan batin, menjadi simbol perasaan kehilangan atau kekosongan. - Kereta Api
Sebagai lambang perjalanan hidup, perpindahan, dan harapan menuju sesuatu yang baru, walaupun realitasnya mungkin hanya menjadi “babu” atau pekerja kasar. - Larungan Tubuh
Akhir puisi yang mencerminkan pengorbanan dan penyerahan diri pada aliran waktu dan modernisasi.
Suasana
Puisi ini berhasil menghadirkan suasana malam di Yogyakarta dengan cara yang melankolis dan imajinatif. Ada nuansa nostalgia yang bercampur dengan kegelisahan akan perubahan, menjadikannya reflektif dan emosional.
Puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan makna hidup dan identitas, di tengah dinamika antara tradisi dan modernitas. (*)