Dari dulu saya memilih Prabowo walaupun kalah terus dari Jokowi. Saya tidak pernah membenci Jokowi. Ketika Prabowo berkongsi jadi Menhan di kabinet Jokowi, 2019-2024, saya tidak pernah menghina Prabowo. Ini politik. Biarkan saja. Justru kita harus berpikir, jangan menyerah melihat keadaan. Luaskan cakrawala berpikir kita. Cermati dan belajarlah membaca tanda-tanda.
Saya adalah orang yang sering dihina ketika belum seperti sekarang ini. Jadi saya tahu sekali perasaan orang yang dihina. Terutama keluarganya. Jadi saya sering merasa heran dan geleng-geleng kepala ada orang yang dulu memuji Prabowo kemudian menghinanya lalu memujinya lagi. Begitu juga dulu memuji Jokowi sekarang menghinanya. Tapi saya juga tidak membenci orang-orang yang suka menghina lawan politiknya. Saya juga tidak perlu memuji orang-orang yang bersikap positif kepada lawan politiknya.
Bagi saya sebetulnya adalah tindakannya kemudian setelah terpilih. Apakah ia korupsi? Hancurkah negara? Kita harus berpikir secara luas, karena negara itu bukan milik satu kelompok, satu golongan, atau satu agama. Kewajiban kita adalah menjaganya agar kita hidup rukun.
Saya kira, kita harus belajar dari pesepakbola di lapangan sepakbola dan penonton di tribun stadion. Mulai dari menyanyikan lagu Indonesia Raya, menjalankan strategi pelatih, berupaya menjebol gawang lawan, bersorak menyemangati secara sportif. Selalu gembira dan menghargai kalah atau menang. Kita bisa ikut merasakan, bagaimana perjuangan mereka di lapangan.
Tentu ini terkait Pilkada serentak, Rabu 27 November 2024. Siapa yang akan kita pilih? Mudah saja. Pilihlah pasangan yang paling sedikit jejak rekam buruknya. Jauh-jauhlah paslon itu dari lingkaran KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme). Untuk Kota Serang, Banten, sara saya, pilihlah paslon yang bisa gaul ke nasional dan internasional. Dulu Ridwan Kamil figur seperti itu ketika ikut bursa Walikota Bandung.
Gol A Gong