November dan Desember 2024 ini kegiatan sebagai Duta Baca Indonesia tidak begitu padat. Ini kesempatan emas untuk membaca buku. Dari dulu saya tertarik membaca buku-buku tentang “Puisi Esai”. Ada satu buku yang ingin saya baca, yaitu “Puisi Esai, Kemungkinan Baru Puisi Indonesia”, merespon fenomena Puisi Esai yang digagas Denny JA.
Saya mengutip tulisan Agus R. Sarjono (Puisi Esai Sebuah Kemungkinan) di buku ini, “Ada anggapan luas di masyarakat bahwa puisi adalah lamunan dan khayalan. Jelas anggapan umum semacam ini tidaklah benar. Celakanya ada juga sastrawan yang percaya bahwa puisi adalah khayalan dan lamunan. Semua puisi (yang baik) berakar pada fakta, baik fakta sosial maupun fakta psikologis. Seorang penyair sejati pada dasarnya adalah seorang peneliti, karena sebelum menulis puisi ia akan meriset dengan sungguh-sunguh apa yang akan ditulisnya. Tanpa riset, tanpa pengamatan yang teliti atas objek yang ditulisnya, puisi akan menjadi sekadar otak-atik bahasa dan kerja pertukangan tanpa makna.”
Baca kisah-kisah yang terjadi di Rumah Dunia di sini
Saat membaca tulisan Agus R. Sarjono itu, saya ingat gunjingan orang-orang tentang Rumah Dunia di antara 2010-2015. Sampai ke telinga saya bahwa orang-orang (yang mengaku sastrawan) menyebar premis tidak sedap, yaitu “jika belajar menulis di Rumah Dunia tidak akan jadi sastrawan, karena Gol A Gong itu penulis populer”. Ada lagi tambahannya, bahwa karya-karya yang saya tulis itu sampah. Peserta Kelas Menulis Rumah Dunia meminta saya menanggapinya.
Baca juga puisi-puisi Gol A Gong di sini
Saya infokan, Kelas Menulis Rumah Dunia sejak 2002, terus bergulir hingga kini sudah angkatan ke-40. Saya memberi pemahaman kepada mereka bahwa menulis itu kerja-kerja intelektual; menulis dengan 3 tahapan, yaitu pertama persiapan menulis (riset lapangan dan pustaka), kedua setelah kontemplasi menuliskannya, dan terakhir menyuntingnya. Tidak ada karya yang baik, bagus, dan laku di pasar tanpa melewati proses berkali-kali.
Jadi setelah riset, tinggal menentukan pilihan, target pembacanya siapa. Karya yang laku di pasar (kemudian dengan nyinyir disebut populer) sudah pasti bagus tapi karya yang bagus belum tentu laku di pasar. Tanggapan kedua tentang karya saya itu sampah, saya mengiyakan. Iya, karya-karya saya yang ratusan itu sampah. Biasanya di dalam sesuatu yang sering kita abaikan, seperti halnya sampah, biasanya selalu ada komposnya.
Saya membantu meyakinkan peserta Kelas Menulis Rumah Dunia, bahwa mereka belajar menulis di tempat yang benar dan tepat. Saya membuktikannya kepada mereka dengan riset 50 hari dari Sabang hingga Lampung. “Saya mau menulis puisi ‘Air Mata Kopi’. Saya akan riset dulu ke Sumatera,” begitu kata saya di tahun 2013.
Kemudian Gong Publishing menerbitkannya. Setelah bukunya habis, Gramedia mengambil alih. Buku antologi pusi “Air Mata Kopi” itu masuk 10 besar Hari Puisi Indonesia, 2014. Orang-orang yang nyinyir kepada saya dan Rumah Dunia (dan mengaku sebagai sastrawan) itu juga ikut lomba. Tapi tidak lolos. Saya pernah membaca karya-karya mereka, yang oleh Agus R. Sarjono tadi dikategorikan, “tanpa riset, tanpa pengamatan yang teliti atas objek yang ditulisnya, puisi akan menjadi sekadar otak-atik bahasa dan kerja pertukangan tanpa makna.”
Gol A Gong
Duta Baca Indonesia 2021-2025
*) Membaca Itu Sehat, Menulis Itu Hebat