Oleh Kilian Surya
Di sebuah perpustakaan ajaib, di mana rak-rak buku menjulang tinggi hingga langit-langit yang berkilauan bintang, dua sosok tengah berdebat sengit.
Yang pertama, seorang wanita bijak bernama Ny. Objektivitas, berpakaian jubah sutra biru tua, berkata, “Kita harus mengakui subjektivitas dalam kritik sastra. Pengalaman, latar belakang, dan perspektif kita membentuk cara kita memahami dan menafsirkan karya sastra.”
Yang kedua, seorang pemuda pemberontak bernama Tuan Dekonstruksi, berpakaian compang-camping namun bermata tajam, menjawab, “Pengakuan itu bagus, Ny. Objektivitas, tapi apakah itu cukup? Apakah hanya dengan mengakui subjektivitas kita sudah cukup untuk mengatasi bias dan ketidakadilan dalam kritik sastra?”
Ny. Objektivitas, dengan tenang, menjelaskan, “Dengan mengakui subjektivitas kita, kita dapat menjadi lebih sadar akan bias kita sendiri. Kita dapat berupaya untuk mempertimbangkan perspektif lain, dan kita dapat berusaha untuk mencapai interpretasi yang lebih adil dan representatif.”
Tuan Dekonstruksi tertawa, suaranya seperti deru angin kencang. “Ah, itu hanya ilusi, Ny. Objektivitas! Pengakuan subjektivitas tidak akan otomatis menghilangkan bias dan ketidakadilan. Subjektivitas itu sendiri dapat menjadi alat untuk melegitimasi bentuk-bentuk penindasan dan eksploitasi.” Ia menunjuk ke sebuah buku tua yang usang, judulnya *Sejarah Kerajaan Sastra*. “Lihatlah buku ini,” katanya. “Buku ini ditulis oleh sejarawan kerajaan, yang berasal dari keluarga bangsawan. Ia menulis sejarah sastra dari perspektifnya sendiri, dari perspektif mereka yang berkuasa. Ia mengabaikan atau meremehkan karya-karya sastra dari kelompok-kelompok yang terpinggirkan. Ia menggunakan subjektivitasnya untuk memperkuat kekuasaan dan dominasi kelompoknya.”
Ny. Objektivitas mengakui, “Anda benar, Tuan Dekonstruksi. Subjektivitas dapat digunakan untuk melegitimasi bentuk-bentuk penindasan dan eksploitasi. Tapi, bagaimana kita dapat membedakan antara subjektivitas yang otentik dan subjektivitas yang dimanipulasi oleh kekuatan-kekuasaan yang ada?”
Tuan Dekonstruksi tersenyum misterius. Ia mengeluarkan sebuah cermin ajaib dari sakunya. “Cermin ini dapat menunjukkan kebenaran di balik setiap subjektivitas,” katanya. “Cermin ini dapat menunjukkan siapa yang benar-benar berbicara, dan siapa yang hanya menjadi boneka dari kekuatan-kekuasaan yang ada.”
Mereka berdua memandang cermin itu. Cermin itu menunjukkan berbagai macam wajah, masing-masing mewakili sebuah subjektivitas.
Ada wajah-wajah yang penuh dengan kejujuran dan integritas, ada juga wajah-wajah yang penuh dengan kepalsuan dan manipulasi.
Ada wajah-wajah yang mewakili suara-suara yang terpinggirkan, ada juga wajah-wajah yang mewakili suara-suara yang berkuasa.
“Kita harus belajar untuk membaca cermin ini,” kata Tuan Dekonstruksi. “Kita harus belajar untuk membedakan antara subjektivitas yang otentik dan subjektivitas yang dimanipulasi. Kita harus belajar untuk mendengarkan suara-suara yang terpinggirkan, dan kita harus belajar untuk menantang kekuatan-kekuasaan yang ada.”
Ny. Objektivitas mengangguk setuju. “Anda benar, Tuan Dekonstruksi. Ini bukan hanya tentang mengakui subjektivitas, tetapi juga tentang memahami bagaimana subjektivitas dibentuk dan dimanipulasi oleh kekuatan-kekuasaan yang ada. Kita harus mengembangkan metodologi yang lebih kritis dan reflektif, yang mampu mengungkap kebenaran di balik setiap subjektivitas.”
Mereka berdua meninggalkan perpustakaan ajaib itu, dengan tekad untuk membangun kritik sastra yang lebih adil dan representatif. Mereka tahu bahwa ini adalah tugas yang sulit, tugas yang penuh tantangan. Tapi, mereka juga tahu bahwa ini adalah tugas yang penting. Karena, kritik sastra yang adil dan representatif adalah cerminan dari masyarakat yang adil dan representatif.
Dan, untuk mencapai itu, kita harus belajar untuk membaca cermin ajaib yang menunjukkan kebenaran di balik setiap subjektivitas.
*) Kilian Surya, asal Sukabumi, Jawa Barat, memiliki kecenderungan estetis yang kuat terhadap puisi dan esai. Ia pernah menimba ilmu di Jurusan Filsafat Agama, UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Meskipun perjalanan akademiknya terhenti karena.