Sebelum Pilkada Banten 2024 dimulai Rabu 27 November 2024, orang-orang yang ingin Banten Bangkit – terbebas dari KKN – merasa dilematis dengan 2 paslon; yaitu Airin-Ade dan Andra-Dimyati. Di paslon nomor 1 Airin yang dianggap terkait ke Dinasti Atut dan di paslon nomor 2 ada Dimyati yang dikuatirkan membentuk dinasti baru di Banten.
Ada candaan, coba saja pasangnnya Airin-Dimyati dan andra-Ade, akan lebih mudah menetukan pilihan. Tapi sekarang semua sudah berlalu. Hasil sementara quick count, Andra-Ade unggul. Kita tentu lebih mudah melakukan dialok dengan Andra-Dimyati. Jika mereka KKN, kita kritik saja.
Kemudian saya teringat puluhan tahun lalu. Saat istri saya – Tias Tatanka hamil anak kami yang pertama (Nabila Nurkhalishah Harris) sekitar akhir tahun 1997, perasan kacau berkecamuk di hati dan pikiran saya. Situasi dan kondisi Banten sebelum menjadi provinsi pada masa itu sangat memprihatinkan. Dominasi sebuah kelompok dengan label jawara , membuat saya berpikir keras, apakah tetap berdomisili di Banten atau mengungsi ke Bogor, Bekasi, atau Depok? Tapi kami tetap bertahan karena ada Rumah Dunia.
Informasi Seputar Banten dengan segala persoalannya bisa dibaca di sini.
Saat itu saya sedih dengan Banten, yang ternyata jaraknya dekat dengan Jakarta tidak serta-merta membikin wilayah itu maju. Di Banten, jalan-jalan kualitasnya parah. Sekolah banyak yang ambruk. Koran lokal sebelum tahun 2000 tidak ada. Toko buku apalagi. Setelah jadi provinsi pernah ada Toko Buku Tiga Serangkai di Matahari, Serang Mal, yang melenyapkan gedung tua Makodim di akun-alun utara Kota Serang. Sekarang toko buku itu bangkrut dan tutup. Saya pun menulis puisi:
MENCARI PELANGI
-untuk anak-anak masa depanku-
Kini giliranmu menikmati dunia
Barangkali akan lebih keras menderita
Atau lebih gembira
Tapi tak ‘kan kujanjikan kamu
Bisa bermain-main air hujan
Karena mencari pelangi
Adalah siksaan tak terperi
Kini giliranmu menikmati hidup
Walau yang kuwariskan
Adalah jejak-jejakku
Silakan kamu mencari sendiri
Kini giliranmu menikmati semuanya
Pesanku: berilah ibumu kado pelangi
Karena kami rindu hujan!
*) Kampung Ciloang, Serang
Desember 1997
Puisi di atas itu saya tulis pada 1997. Banyak orang yang membaca puisi ini, mengira tentang cinta seorang lelaki terhadap perempuan. Tafsir ini boleh saja. Sebetulnya puisi ini saya tulis, ketika hati saya kacau, prihatin dengan sikon Banten. “Pelangi” yang saya maksud di sini adalah sebuah cita-cita, utopia tetang masa depan Banten yang indah seperti saat kemunculan pelangi sehabis hujan di langit!
Saat itu, saya membayangkan, anak-anak saya jika tumbuh di Banten pasti akan menderita. Anak-anak biologis saya, juga anak-anak yang lain, tidak akan pernah bisa menikmati “pelangi”. Kecemasan saya tentang masa depan Banten yang tidak akan jaya terus bergulir.
Ketika Firman Venayaksa memusikalisasikan puisi saya ini dengan kelompoknya; Ki Amuk, diproduseri Akang Bagja membuat album berjudul dari puisi saya “Mencari Pelangi”, keraguan itu tetap muncul. Firman menyanyikannya dengan suara rintihan.
Silakan klik untuk mendengarkan lagu “Mencari Pelangi” yang digubah Firman Venayaksa di sini.
Setelah Dinasti Atut kalah dalam perebutan kekuasaan Pilkada Banten 2024 di Kabupaten Serang, Kota Serang, Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, dan Provinsi Banten, semoga saja pelangi muncul di tangah Andra – Dimyati. Semoga kekuatiran orang-orang bahwa Dimyati akan membangun “Dinasti Dimyati” di Banten tidak terjadi. Kalau iya, kita laporkan ke Prabowo! Uday Suhada paling jado soal lapor-melaporkan.
Gol A Gong