Kalian pasti pernah menemui hambatan dalam perjalanan menuju tujuan. Kadang kadarnya ringan, tapi kadang terasa berat. Membuat kalian ingin berhenti saja di tengah jalan, lalu berpikir mengulang dari awal, atau malah memilih jalan lain. Apalagi ketika hambatan itu membuat kalian berpikir buruk tentang kemungkinan pencapaian di titik tujuan. Hambatan yang hampir pasti menjadikan ekspektasi kalian melenceng jauh. Atau bakal memalukan.
Saat melukis kover ini pun begitu. Kukira akan berjalan dengan baik, mengingat ukuran bidang yang cukup kecil dan obyek yang tidak rumit. Memang demikian di awalnya, sketsa kucing terlewati cukup baik. Aku sudah memperkirakan komposisi badan kucing dan senang sekali sketsanya tidak mengecewakan.
Beranjak ke pewarnaan, aku baru sadar jika aku tidak punya akrilik warna ungu. Waktu mewadahi dalam palet mini itu aku sudah merencanakan akan mencampur sendiri warna biru dan merah untuk mendapatkan ungu. Namun, aku terlampau sibuk merekam dan akhirnya niat itu terlupa.
Untuk mengatasi tersedianya warna ungu, kukira aku bisa dengannya mencampur dua warna itu di kertas. Aku lupa akrilik tidak semudah cat air dalam pencampuran warna, apalagi dalam palet mini terdapat beberapa merek, jadi ada perbedaan bahan. Yasudahlahya, warna ungu tak dapat, warna biru dan merah tak mau rapat-rapat.
Lalu kuas menyapu bidang putih tanpa sengaja, justru menghasilkan warna ungu yang kuinginkan. Kupikir akan tertutup dengan warna latar belakang. Tapi, aku salah memilih warna, menjadikan obyek gambar tidak muncul.
Begitulah. Mungkin ada penyesalan ini itu. Sayangnya, tak ada tombol undo dalam hidupku. Aku tahu salahnya di mana. Aku lupa mensyukuri nikmat yang kudapat. Ini membuat ekspektasiku melompat-lompat. Aku mabuk kesenangan dan lupa hidup adalah ibadat. Sungguh aku baru sadar, melupakan itu semua membuat kepala dan hatiku mampat.
Aku lupa sekadar mengucap hamdalah. Padahal aku yang perlu, untuk menghalau segala gundah. Astaghfirullah. Allahumma baarik ‘alaih.
Note: ini buku yang endingnya sebenarnya sedih, tapi Arikawa Hiro mengemasnya agar pembaca tidak terlalu larut dalam tangis duka. Nyesek mah iya.