Oleh: Agung Laksono
Penyandang disabilitas netra, sama seperti individu lainnya, memiliki hak untuk mandiri dan mengeksplorasi potensi diri. Ketika orang tua terlalu mengontrol atau membatasi kebebasan sang anak yang memiliki hambatan dalam penglihatan, hal ini tidak hanya berdampak pada perkembangan pribadinya, tetapi juga dapat menyebabkan diskriminasi sosial.
Sebagai penyandang disabilitas netra, saya merasa beruntung bisa melakukan apa pun sendiri selayaknya orang pada umumnya. Terlebih, saya diciptakan sebagai laki-laki. Saya bisa hidup sendiri di tanah rantau. Saya bisa bepergian sendiri tanpa didampingi orang awas. Saya pun bisa hangout bersama teman-teman tanpa khawatir dicap yang tidak-tidak oleh masyarakat.
Namun, ternyata ada banyak teman disabilitas netra yang tidak seberuntung saya. Saat ini, saya tinggal di Kota Tangerang Selatan, salah satu kota besar di wilayah Banten. Bahkan, kota ini bertetangga dengan Ibukota. Naik busway satu kali dari arah Ciputat saja sudah bisa jalan-jalan ke Jakarta Selatan.
Saya memiliki teman disabilitas netra yang tinggal di salah satu kota di provinsi ini. Sebenarnya, tempat tinggalnya itu tidak plosok. Termasuk kota yang terdapat lebih dari satu mol. Kafe-kafe kekinian pun cukup tersebar di mana-mana.
Sayangnya, dia dikekang sejak kecil oleh orang tuanya karena kondisi tersebut. Apalagi dia adalah seorang perempuan. Tentunya sangat rawan terjadi hal-hal yang negatif terhadap dirinya. Khawatir tersasar tidak sampai tujuan, celaka di jalan, dilecehkan orang, dan hal-hal negatif lainnya.
Karena terlalu penurut, dia hanya mengikuti apa yang dikatakan orang tuanya. Akibatnya, dia merasa kurang bergaul dan cenderung menjadi introvert. Dia sulit berinteraksi dengan orang baru. Dia pun lebih banyak diam, apabila berada di suatu perkumpulan. Bahkan, tidak jarang dia mengalami kecemasan sosial saat berada di situasi yang ramai. Hal itu lantaran tidak terbiasa bersinggungan dengan banyak orang.
Padahal, kota tempat tinggalnya itu strategis untuk bepergian ke mana pun. Transportasi umum seperti kereta saja pelayanannya sudah sangat akses untuk disabilitas melakukan perjalanan sendirian. Kemudian, ada transportasi online yang bisa diakses dengan ponsel pintar yang sudah dipasang aplikasi pembaca layar. Namun, dia masih saja harus diantar ke mana-mana oleh sang Mama. Sebab, hal itu lebih aman dibanding menaiki transportasi umum ataupun transportasi online.
Jangankan soal bepergian sendiri, beraktivitas di dapur saja dia pun dilarang oleh orang tuanya. Khawatir terjadi kebakaran, terkena cipratan minyak goreng, tersiram air panas, teriris pisau, dan sejenisnya. Namanya belajar, seharusnya hal-hal semacam itu wajar saja, kan. Tidak lantas tiba-tiba langsung mahir.
Namun, seiring bergulirnya waktu, dia mulai tidak patuh lagi dengan larangan orang tuanya. Dia sadar bahwa kesempatan itu tidak akan ada, apabila tidak memiliki keberanian untuk mencobanya. Dia tidak ingin menunggu restu dari orang tuanya. Dengan niat dan tekat, dia pun perlahan-lahan belajar masak secara autodidak. Sebab, dia melakukan itu tanpa sepengetahuan orang tuanya.
Menu-menunya cukup sederhana seperti membuat mi instan, menggoreng telur, tempe, dan makanan-makanan beku. Setidaknya dia bisa mengganjal perut terlebih dahulu, saat sang Mama belum membeli makanan untuknya. Bahkan, sang Mama sudah mulai mengajaknya untuk memasak di dapur. Artinya, kan, kepercayaan itu sudah mulai tumbuh berkat kenekatannya.
Selain itu, dia juga mulai mencoba untuk bepergian sendiri, baik menaiki kereta lokal maupun transportasi online. Terlebih, dia memiliki hobi menulis. Karena ingin kemampuannya makin terasah, dia pun ikut kelas menulis offline dan bergabung di komunitas yang bergerak di bidang kepenulisan. Hal itulah yang membuatnya termotivasi untuk belajar mandiri.
Sekarang dia sudah lebih sering berinteraksi sosial dengan banyak orang. Kecemasan sosial yang kerap terjadi pada dirinya selama ini mulai berkurang karena dia berkumpul dengan orang-orang yang memiliki minat yang sama.
Orang tuanya pun lama-lama mengizinkan dia untuk bepergian sendiri. Jika kebebasan ini diberikan sejak dini, dia pasti akan lebih cepat membangun relasi yang dapat membantunya menjadi lebih mandiri dan mengejar impiannya untuk menjadi penulis profesional.
Kekangan yang diberikan oleh orang tua sering kali berasal dari rasa khawatir atau ketakutan akan keselamatan anak. Namun, pendekatan ini sering kali berujung pada pengucilan dan kurangnya kepercayaan diri terhadap penyandang disabilitas netra.
Tanpa kesempatan untuk mandiri, mereka merasa tidak berdaya dan sulit untuk beradaptasi dengan masyarakat. Ini dapat memperkuat stigma negatif yang ada terhadap penyandang disabilitas netra dan menyebabkan mereka diperlakukan sebagai individu yang tidak mampu. Padahal, dengan dukungan dan kesempatan, mereka bisa menunjukkan kemampuan yang luar biasa.
Orang tua memang memiliki rasa cinta yang begitu besar terhadap anaknya. Namun, kadang kala terlalu cinta itu malah berdampak tidak baik bagi kemandirian sang anak yang memiliki hambatan penglihatan.
Bukankah lebih baik rasa cinta itu diwujudkan dalam bentuk dukungan? Anak penyandang disabilitas netra diberi kesempatan untuk tumbuh dan belajar di ruang lingkup masyarakat. Hal itu tidak tergolong mengabaikan keselamatannya, kok. Justru, itu adalah langkah penting dalam memerangi diskriminasi dan mendorong inklusivitas dalam masyarakat.
Bionarasi
Agung Laksono adalah penyandang disabilitas netra yang berasal dari Lampung. Saat ini sedang menempuh strata 1 program studi Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Pamulang. Jika ingin kenal lebih dekat, bisa ikuti instagram @aglxn.