Oleh: Hamzah Sutisna
Belakangan ini, media sosial ramai membahas seorang yang katanya menyandang gelar “Gus” merendahkan seorang penjual es. Tentu saja, hal ini memantik perbincangan di mana-mana. Tapi yang lebih menggelitik bukan hanya soal perkataannya, melainkan bagaimana ia mengemasnya. Di satu sisi, ia berbicara seolah-olah paham agama, di sisi lain, kalimatnya memukul telak martabat manusia yang mencari nafkah dengan halal.
Kita harus jujur mengakui bahwa profesi apa pun, selama itu halal, adalah kemuliaan. Seorang penjual es, walau mungkin tampak sederhana di mata manusia, tetaplah seorang hamba Allah yang berjuang untuk keluarganya. Dalam pandangan agama, justru mereka yang berdagang dengan kejujuran dan kesungguhan mendapatkan tempat istimewa di sisi-Nya. Rasulullah sendiri adalah seorang pedagang. Beliau mengajarkan adab dalam berdagang, bukan menghina mereka yang bergelut di dunia itu.
Di tengah-tengah hiruk pikuk ini, ada pelajaran besar yang harus kita renungkan: Adab lebih tinggi dibandingkan ilmu. Seseorang bisa saja memiliki gelar, pengetahuan, atau pengaruh besar, tetapi jika tidak memiliki adab, maka semua itu menjadi sia-sia. Adab adalah pakaian yang melekatkan martabat pada manusia. Tanpanya, ilmu hanya akan menjadi senjata tajam yang melukai orang lain.
Suatu ketika guru saya pernah mengatakan bahwa, “Ilmu tanpa adab itu ibarat air tanpa wadah, tumpah tak berfaedah. Sedangkan adab, meski tanpa ilmu yang luas, tetap akan membawa manfaat yang besar.” Sebuah ungkapan yang menohok, mengingatkan kita untuk selalu mengutamakan bagaimana cara kita memperlakukan sesama.
Kisah ini juga menjadi pengingat bahwa tidak ada yang lebih mulia di hadapan Allah kecuali ketakwaan. Bukan gelar, bukan jabatan, bukan harta, apalagi menghina orang lain. Jangan pernah lupa, tangan yang berjuang untuk mencari rezeki halal adalah tangan yang dimuliakan. Sebaliknya, lisan yang merendahkan orang lain adalah tanda kebangkrutan hati.
Maka, sebelum menilai atau berbicara tentang orang lain, mari kita bercermin lebih dalam. Apakah kita sudah cukup beradab? Apakah ilmu yang kita miliki sudah benar-benar memberi manfaat bagi sesama? Sebab, pada akhirnya, manusia tidak diukur dari apa yang ia tahu, tetapi bagaimana ia memperlakukan sesama.