“Tentu saja, sastra itu sebuah kata, bukan sebuah benda.” Ini adalah kutipan dari Robert Scholes di buku Pengantar Ilmu Sastra (Gramedia, 1984), sewaktu saya kuliah di FASA UNPAD Bandung, 1984.

Saya berpikir lama waktu itu. Kutipan Robert Scholes ini membuat saya berpikir tentang sifat dasar sastra lewat kata, yang tidak bsa dikekang. Kata itu selain memiliki makna, dia jangan jadi semata objek si penulis. Kata itu mengandung ide, emosi, dan pengalaman kehidupan.

Saya sering mengatakan bahwa “Jika kamu tidak berani mengatakan kebenaran dengan cara yang benar, maka sampaikan kebenaran dengang cara berbohong, yaitu menulis cerita.” Bohong? Bagaimana bisa?

Banyak orang bingung, “Kok, cerita bohong?” Itulah dia: sastra. Kata “bohong” dipertanyakan di sini. Sastra dalam unsur intrinsiknya adalah rekayasa kita sebagai penulis. Kita menyampaikan kebenaran lewat para tokoh yang kita ciptakan sendiri alur ceritanya. Tokoh yang koruptif saya beri nama “Panjul” di cerita kita itu, pada kenyataannya tidak ada secara phisik di dunia nyata, tapi secara ide perilaku koruptif hadir di mana-mana.

Kemudian “sastra itu bohong” secara ekstrinsik terhubung ke penulisnya. Kadang si penulis secara moral menggebu-gebu memperjuangkannya di dalam prosa dan puisi yang ditulisnya, tapi pada kenyataannya si penulisnya bobrok moralnya. Dia melakukan hal yang bertentangan ditulis di prosa-puisinya. Kadang para penuli berkiblat pada “pengarang sudah mati”. Karyanya saja yang dibahas, jangan penulisnya. Itu hal yang berbeda.

Menurut kamu, perlukah penulis mempertanggungjawabkan tulisannya secara moral?

Gol A Gong/ilustrasi ChatGPT 4o

Please follow and like us:
error69
fb-share-icon0
Tweet 5

ditulis oleh

golagong

Duta Baca Indonesia 2021-2025 - Penulis 125 buku - Motivator Menulis - Pendiri Rumah Dunia