Oleh Grace Christine

Teman-teman mengira aku menyukai band-band Korea dan sejenisnya. Padahal aku penyuka musik blues. Aku tidak membenci musik Korea atau musik apa pun; aku ini menyukai semua jenis musik. Hanya saja blues kelihatannya bisa membawaku lebih jauh ke kedewasaan, sesuatu yang mungkin sangat kubutuhkan di usia SMA-ku ini.

Bagiku, tidak ada yang lebih cocok selain perpaduan membaca buku-buku cerita bertema kesehatan mental yang merupakan tema favoritku, di atas ranjang sambil ditemani alunan melengking permainan gitar B.B. King. Sekadar rahasia, setelah membaca sekian banyak kisah bertema isu-isu kesehatan mental yang cukup marak di koran, medsos, dan website, ditambah koleksi novel Matt Haig di lemari buku di sudut kamarku, aku menemukan kurang lebih bahwa masalah kesehatan mental yang selama ini kubaca juga kutemukan ada sedikit-sedikit di diriku sendiri. Namaku Nora, suatu kebetulan yang sangat, bahwa nama ini adalah juga nama tokoh utama di novel “Midnight Library”-nya Matt Haig.

Tapi meski namaku Nora, aku tidak punya keinginan untuk mati seperti Nora di “Midnight Library”. Aku mencintai hidup, menghargai segala kesempatan yang pernah ada dan penasaran dengan segala kemungkinan yang akan datang. Aku juga seorang penggemar musik pop dan tidak pernah antipati dengan trend musik Korea, musik Thailand, dan musik Jepang yang sekali-sekali aku nikmati. Pendek kata, aku cukup mencintai musik dan mencintai hidup.

Aku hanya kadang-kadang merasakan keputusasaan tipis-tipis mendadak menyelipkan dirinya di antara menit-menit kamarku, yang dindingnya sedingin salju meski seberapa dinginnya salju aku tak pernah tahu. Aku hanya kadang-kadang mendadak merasakan kekosongan melingkupi keberadaanku meski keberadaanku juga belum jelas maknanya bagiku. Di saat-saat absurd yang terasa membungkam waktu, lengking musik blues menyuarakan sesuatu. Kekosongan berubah menjadi ruang yang mencukupkan.

B.B. King pernah berkata,”Blues is a tonic for whatever ails you. I could play the blues and then not be blue anymore.” Ya, blues adalah tonik untuk penyakit apa pun yang Anda derita. Saya bisa memainkan musik blues dan kemudian tidak menjadi biru atau sedih lagi. Dalam kasusku, aku bisa mendengarkan musik blues dan tidak merasa sedih lagi.

Saat semua alunan mood buruk berlalu, aku akan berganti melampiaskan tenagaku pada tugas-tugas sekolah yang selalu saja menumpuk kembali. Tugas yang satu selalu diikuti tugas berikutnya. di meja tempatku meletakkan lirik-lirik lagu balada kesukaanku. Ya, aku suka lagu balada juga.  Di sesi tanpa depresi, musik balada seringkali menjadi pilihan utama bagiku Diselingi satu dua lagu reggae yang membawaku bergoyang sejenak menggerakkan badan diam-diam di kamar tertutup, tanpa malu aku akan berdiri meninggalkan tugas Matematika yang tidak ada habisnya dan tugas Fisika yang membuat rambut rontok itu, lalu mulai bergoyang dan mengangkat tanganku mengikuti suara vokalis UB40 yang mendayu merayu. Setelah satu dua lagu, aku kembali ke lagu-lagu balada atau country dan mengerjakan Matematika-ku. Tak lupa menggantinya ke komposisi Beethoven dan Bach di saat Franky & Jane atau Melissa Montgomery sudah terasa terlalu “ribut” mengganggu konsentrasi menghitungku yang buruk.

Di lain waktu, tak jarang aku sengaja menambah-nambah kesenanganku sendiri di atas meja belajar yang bukunya sudah bertumpuk, Aku biasanya mulai dengan menghias jurnal dan menyetel playlist lagu-lagu bossanova favoritku sambil mengabaikan tenggat waktu tugas-tugas di bawahnya. Aku khawatir terlalu banyak memikirkan tenggat waktu membuatku nampak tujuh tahun lebih tua. Tapi teman dekatku bilang, kekhawatiranku tampak tua itulah yang nanti justru membuatku tua, bukannya kekhawatiranku tentang batas waktu tugas-tugas sekolah.

Teman dekatku itu, suka sekali bicara blak-blakan tanpa terlalu memikirkan perasaan orang yang diajaknya bicara. Apalagi kalau orang itu aku. Menurutnya, ia bisa bicara apa pun dengan bebas kepadaku, termasuk membahas kekhawatiranku terhadap masalah penuaan padahal usiaku baru 17 tahun. Kebebasan bicara itulah yang membuat ia sangat nyaman berteman denganku meski aku ini bukan orang kaya, tidak pernah memberinya hadiah ulang tahun, tidak pernah mentraktir dia di kantin, dan sering menolak diajak menemani dia nonton bioskop. Dia terpaksa harus mengajak teman-temannya yang lain untuk memuaskan hobi nonton bioskopnya itu.

Selain gaya bicaranya yang seenak perut, teman dekatku itu sering mendadak mengajakku makan, belajar bareng, bikin PR bareng, kerja kelompok, jalan-jalan ke toko buku, nongkrong di mall, dan sebagainya dengan super mendadak tanpa perjanjian atau gejala apa pun. Maksudku mendadak adalah, misalnya, saat aku si introvert tulen ini rebahan menonton aktor-aktor  idolaku di aplikasi pemutar serial drama di HP, tiba-tiba ada ketukan di pintu kamar lalu muncullah wajah tanpa dosa yang berkata, “Yuk!” dan menarikku turun dari ranjang tanpa merasa perlu bertanya apakah aku mau ikut atau tidak.

Ibuku sudah lama mengenalnya hingga selalu mempersilakan ia masuk. Ibu-ibu pada umumnya memang begitu, berharap anak-anak intovertnya memiliki kehidupan sosial yang baik berkat ajakan dan bimbingan teman ekstrovertnya yang baik hati, meskipun sang Ibu itu sendiri introvert juga.

Karena aku orang baik, aku tak tega teman ekstrovertku itu pulang lagi tanpa hasil. Setiap kali aku mengalah mengikuti kemauannya, ibuku tersenyum-senyum penuh kemenangan.  Untuk jaga-jaga seandainya mati gaya, aku selalu membawa earphone di dalam tasku. Kadang kupikir Ibu mendorong-dorongku banyak pergi bergaul dan bersosialisasi terutama bukan karena takut anaknya menjadi gadis kutu buku yang antisosial, tapi terutama supaya Ibu introvertku bisa bebas sendirian di rumah menikmati waktunya yang berharga!

Sikap serba spontan temanku itu diam-diam membuatku menyayanginya. Dia tidak pernah merasa harus menjadi orang lain di hadapanku, menyebabkan aku pun tidak pernah harus menjadi orang lain di hadapannya.

            Selera musik kami kebanyakan berbeda, dia penggemar musik cadas, hard rock dan slow rock. Aku suka hard rock di saat-saat tertentu, slow rock di lebih banyak waktu, namun rasanya aku tidak pernah bisa menikmati lagu-lagu metal. Cukup sering ia mengolok-olokku soal ini, soal aku si paling penyuka aneka jenis musik tapi ternyata dengan genre musik metal menjadi musuh bebuyutan.

            “Musuh? Siapa bilang aku memusuhi metal? Lebih baik memusuhi kamu daripada memusuhi salah satu jenis musik!” tangkisku sengit. Ia cuma tertawa-tawa jelek, membuatku bertambah kesal dan mulai berpikir untuk betulan memusuhinya. “Duhhhh kok marah nih, tenang dulu dong, ayo sekarang kita buat kuisioner, jenis musik mana yang lebih banyak disukai teman-teman kita, jadi kita bisa tahu jenis mana yang lebih populer tanpa harus bertengkar.”

            “Skibidi…! Aneh sekali aku masih tahan dekat-dekat denganmu!”

            “Pesonaku memang tak tertahankan, kawan,” balasnya enteng.

            Dalam debat mana pun, ia selalu menganggap diri menang dan tertawa paling akhir. Aku si penyuka musik blues berdampingan dengan si penggemar metal, sesudah saling ejek tak jarang kami mendengarkan musik balada atau jazz bersama. Kami masih bisa melakukannya sekalipun di tempat umum, berkat earphone yang selalu kubawa. Dengan murah hati aku akan berbagi kabel earphone-ku yang kiri untuk satu telinganya dan yang kanan untuk satu telingaku. Absurd sekaligus nyaman.

            Dengan seluruh kemewahan hidup seperti ini, menurutku wajar saja kalau orang-orang ekstrovert mulai iri dan berputar haluan menjadi introvert. Tak ada yang bisa menikmati segala bentuk kesendirian atau keterasingan atau candaan garing atau genre-genre musik tak populer, sepandai aku.

Bandung, 2024

***

TENTANG PENULIS: Grace Christine, kelahiran tahun 1979, berdomisili di Bandung. Beberapa puisinya pernah termuat dalam antologi-antologi bersama, dan beberapa cerpennya sempat termuat di media massa.

Please follow and like us:
error69
fb-share-icon0
Tweet 5

ditulis oleh

golagong

Duta Baca Indonesia 2021-2025 - Penulis 125 buku - Motivator Menulis - Pendiri Rumah Dunia