Orakadut mengarahkan keledainya ke alun-alun Kota Golokali. “Ayo, belok!” Kedua kaki Orakadut menekan perut kedelai, eh, keledai.

“Jangan kuatir, kamu tidak akan jatuh ke lubang yang sama jika lewat jalur ini!” Orakadut memukul-mukul pundak keledai dengan lembut.

Keledai tertawa terpingkal-pingkal dengan suara seperti mesin truk tua tenaga diesel, yang mengeluarkan asap knalpot berwarna hitam pertanda polusi, eh, mau hujan.

“Ayo, Orakadut! Cepetan orasinya!”
“Udah ngaret sejam, tau!”
“Pegel nungguinnya!”
“Gimana negeri ini mau maju kalau suka ngaret!”

Orang-orang sudah menunggu di alun-alun kota. Mereka terdiri dari berbagai kasta manusia; ada yang proletar, religius, akademis, aktivis, pejabat, dewan kota, oragn munafik, bahkan para intel yang sengaja dikirim Raja Kota Golokali untuk menguping materi omongan Orakadut. Kalau menghasut, tangkap dan penjarakan. Kalau menyebar fitnah, tak perlu ditangkap, langsung tembak di lokasi!

Orakadut melepaskan keledainya untuk sarapan rumput tetangga yang terhampar hijau di alun-alun kota.

“Selamat menderita, wahai orang-orang miskin dan orang kaya hasil ngepet!”

“Huuuuuuuu!” terdengar suara menyoraki.

“Pilpres tinggal menghitung bulan. Ada yang datang bulan sekarang?”
“Saya, Orakadut!”
“Saya! Sakit perutnya, ampuuuuun!”
“ Minum air kunyit aja!”
“Kecubung, lngsung tokcer, sembuh!”
“Sembuh pala lu!”

“Ingat, ingat! Kita ini kaum tertindas harus tetap kompak. Jangan mau diadu jangkrik, ya.”

“Setelah kambing hitam dan domba musnah, sekarang kita udah krisis jangkrik, Orakadut!”

“Wah, nggak bisa lagi adu jangkrik, ya? Wakah! Berarti adu kebo, ya!”
“Hahahahaha!”

“Ingat, saudara-saudaraku yang dibenci kaum priyayi. Banyak cara dilakukan oleh mereka – tim sukses untuk memenangkan jagoannya di Pilpres nanti.”

“Paling ngasih sembako!”
“Serangan fajar!”
“Aplop!”

“Kita akan menyaksian bagaimana dua sahabat kita dengan gelar berderet berperang saling menjatuhkan, tapi kemudian di restoran sebuah hotel mereka berpekukan dan tertawa-tawa.”

Para intel saling pandang.
“Gimana? Tangkap jangan?” Intel 1 ragu.
“Tapi, dia nggak nyebut nama!” Intel 2 bingung.
“Lgaian Orakadut kan gila!”
“Menghasut, belum?” Intel 3 minta pertimbangan.
“Masih stadium satu!” Intel 4 pasrah.

Orkadut melanjutkan orasinya. “Jadi para timses itu senang melihat kita terpecah-belah!”

“Sialan!”
“Husss!”
“Anjing!”
“Ngomong yang sopan!”
“Taik kucing!”

“Mereka pragmatis, dong!”
“Apa itu pragmatis!”
“Semacam penyakit maag, mesti minum promag!”
“Hahahahaha!”

“Oportunis kalle!”
“Istilah apa lagi itu?”
“Suka nyuri opor ayam sama tumis kangkung!”
“Dasar!”
“Hahahaha!”

“Sudah, sudah dulu. Giliran saya bicara lagi, ya!” Orakadut mengangkat kedua lengannya ke udara.

Orang-orang terdiam, menunggu Orakadut bicara lagi.

“Nah, sebaiknya kita juga begitu, happy saja. Jangan terhasut. Kalau perlu, kita nggak usah datang ke lokasi kampanye. Biarkan mereka yang datang ke tempat kita, ke rumah-rumah kita!”

“Usulnya oke!”
“Iya, cuekin aja!”

“Nanti saya akan mengajukan saran kepada mereka yang jadi tim sukses, yang akan berperang, cobalah kampanye yang positif, bicara soal program dan kelebihan jagoanya dan mengatakan sejujurnya apakah jagoanya pernah korupsi atau tidak.”

“Gantung koruptor!”
“Huku mati!”
“Miskinkan!”
“Husss!”
“Diem lu!”

“Tapi, kita mesti milih jagoan yang mana?”

Orakadut menjawab dengan lantang, “Terima dulu amplop mereka, ya. Dan pilih yang serangan fajarnya dengan amplop yang cuannya lebih gede aja!”

“Hahahahaaha!”

Orakadut turun dari mimbar dan menari-nari di rumput alun-alun kota sambil tertawa-tawa. Orang-orang juga mengikuti.

Para intel kemudian bergerak dan melepaskan tembakan ke udara agar kerumunan membubarkan diri.

Orakadut lari dikejar-kejar keledainya.

*) Akhir April 2023

Please follow and like us:
error69
fb-share-icon0
Tweet 5

ditulis oleh

golagong

Duta Baca Indonesia 2021-2025 - Penulis 125 buku - Motivator Menulis - Pendiri Rumah Dunia