
SETIAP manusia adalah perumah kenangan. Kenangan datang dalam rupa suka, duka, luka; manis, pahit, dan getir. Seperti cermin kusam di sudut ruang jiwa, kenangan itu memantulkan serpihan masa lalu, menjadi pengingat, pelajaran, bahkan sekadar nostalgia yang merajut kembali benang-benang hari yang terlewat.
Saya pun begitu. Kenangan adalah tamu yang tak pernah benar-benar pergi. Ia singgah, mengetuk, atau dihadirkan kembali oleh sekelebat momen—barangkali oleh pesan media sosial yang menyapa tanpa diminta, seperti ingatan dari Facebook yang muncul nyaris setiap hari.
Andai saja kenangan indah bisa diulang, tentu alangkah nikmatnya. Namun, betapa baiknya jika kenangan buruk tak pernah kembali, meskipun dulunya mungkin sempat terasa manis.
Waktu, sayangnya, tak pernah mengalah pada harap. Ia berjalan maju, melaju tanpa pernah menoleh. Ia memahat setiap musim yang berlalu, menggiring kita melewati pergantian zaman. Usia, bagai benang di gulungan, terus terurai mendekati simpul terakhir. Dan kita hanya penenun yang merajut sisa-sisa hidup dengan tangan yang kadang gemetar.
Malam adalah panggung kenangan paling setia. Di kala sunyi mendekap bumi dan kantuk melawan terjaga, kenangan hadir tanpa diundang. Saat malam merayap sepi, ilham kerap turun dari langit, mengetuk pintu jiwa, dan mengendap di sudut pikiran. Namun, malam juga menjadi ruang bagi kegelisahan; tempat kecemasan dan ketakutan berdansa, dan gundah gulana mengalir tanpa sebab yang jelas.
Di tengah larut itu, air mata terkadang jatuh tanpa suara. Dalam gelap yang dingin, bayangan kedukaan dan dosa-dosa yang lalu muncul dengan tajam. Namun, justru di titik itu, pintu hati kerap terketuk. Jalan pulang yang sejati mulai terbentang—bukan jalan menuju rumah, melainkan jalan yang membawa kita kembali pada diri sendiri.
Saat menemukan jalan pulang itu, barulah kita memahami arah kehidupan. Dari mana kita bermula, di mana kini kita berdiri, dan ke mana esok kita akan menuju. Kesadaran itu adalah lentera yang menerangi liku-liku perjalanan hidup.
Namun, meski arah telah jelas, perjalanan tetap sarat ujian. Luka baru kerap tergores. Onak dan duri, lembah yang curam, serta jurang yang menganga menjadi sahabat perjalanan yang tak terhindarkan. Hidup tak pernah benar-benar sunyi dari badai; ia selalu menanti di tikungan, hadir silih berganti tanpa henti.

Kelima sajak yang saya tulis berikut ini adalah tangkapan sederhana dari kegelisahan semacam itu. Barangkali ia tak mewakili perasaan setiap orang, tetapi setidaknya ia lahir dari apa yang saya pikirkan dan rasakan di penghujung tahun ini.
Mudah-mudahan, di antara pembaca, ada jiwa yang dapat bersambut. Terima kasih untuk setiap mata yang sudi membaca sajak-sajak ini, dan hati yang sempat memahami. []
Muhammad Subhan

Muhammad Subhan
Yang Menggapai tapi Tak Sampai
daundaun luruh
seperti kenangan
yang tibatiba lepas
lesap dalam sunyi
lirih, ingatkan sesuatu
yang tak lagi
menjadi mimpi
di malammalam
paling palung.
di tepian waktu
ada yang menggapai-
gapai, tapi tak sampai.
ada yang mengenang
ingatan purba tapi
tak lagi bersua.
seperti hujan yang
kembali tiba
di desember yang basah
menghapus jejak,
tak lagi bersisa.
Ladang Tebu, 2024

Muhammad Subhan
Malam Kesekian
Malam beranjak
tanpa angin
tanpa dingin
kecuali deru
keheningan
seperti langkah
tak pernah berhenti
mengantar kita pulang
pada gelisah yang payah.
Jam di dinding
berdetak
tanpa sapa
tanpa jeda
kecuali mengetuk
pikir, meruang dalam hati
menghitunghitung jejak
yang sudah terlewati
meraba onak
seberapa banyak terinjak
menyisir miang
sebanyak apa meradang
di meja beranda
kopi siapa yang telah dingin?
Ladang Tebu, 2024

Muhammad Subhan
Jalan Pulang
Akan selalu
ada, jalan
untuk pulang.
Sepanjang
kau masih
menunggu
dan pintu
tak berpalang.
Akan selalu
ada, rindu
yang ditanak.
Sepanjang
kau masih
menyalakan
tungku api
meski kayu
tak ada lagi.
Ladang Tebu, 2024

Muhammad Subhan
Mesin-Mesin yang Berpikir
mesin-mesin
yang berpikir
tanpa darah
menyusuri peta
tanpa pernah
bertanya
agar manusia
terbebas dari
rantai angka
menemukan ruang
di antara jeda
dan sapa.
adalah biji kopi
yang tumbuh di sunyi
tempat cerita bertunas
tawa merekah
atau tangis luruh
pasrah.
mesin berotak canggih
meneroka waktu
membongkar belenggu
namun biarlah kami
tetap menggenggam
hangat pagi
tetap menjadi manusia
yang tahu nilai nurani.
Ladang Tebu, 2024

Muhammad Subhan
Luka di Tubuh Waktu
di rahim terik bumi terbakar
tanah retak menunggu hujan
angin getir membawa kabar muram
pohonpohon menggugurkan daundaun
luruh memeluk akarakar yang kehausan
garang bola api mencengkeram
peluh menggumpal jadi luka
waktu berlubang. ada yang rindu
pada riak kecipak sejuk air sungai
—tapi sungaisungai mengering dan keruh
marapi masih menyemburkan debu
kita berteduh di bawah bayang sendiri
diselimuti ragu
dan takut pulang
ke rumah sendiri
Ladang Tebu, 2024


Muhammad Subhan, penulis, pegiat literasi, founder Sekolah Menulis elipsis, menetap di pinggir Kota Padang Panjang, Sumatra Barat. Berdarah Aceh-Minang. Lahir di Medan, 3 Desember. Buku Kumpulan cerpennya Jalan Sunyi Paling Duri (2022) dan Bensin di Kepala Bapak (2020). Buku puisinya Tungku Api Ibu (2023) dan Kesaksian Sepasang Sandal (2020). Novelnya Rumah di Tengah Sawah diterbitkan Balai Pustaka (2022). Ia penulis undangan Ubud Writers & Readers Festival (UWRF) 2017. Esainya tiga terbaik Festival Sastra Bengkulu (2019) dan puisinya tiga terbaik Banjarbaru Rainy Day Literary Festival (2019). Beberapa puisinya dialihwahanakan menjadi lagu dengan iringan musik klasik oleh pianis bertaraf internasional, Ananda Sukarlan. Email: rinaikabutsinggalang@gmail.com. WhatsApp: 0821-6987-7399. Instagram: @muhammadsubhan2.

PUISI MINGGU 2025 terbit setiap hari Minggu. Silakan mengirimkan 5 hingga 10 puisi tematik dengan kata pengantar dari penulis dan ilusrasi yang mendukung puisi-puisinya – boleh juga dengan bantuan AI. Sertakan foto diri. Tulis bio narasi dan pengantar singkat. Kirimkan ke email : gongtravelling@gmail.com. Ada uang pengganti pulsa Rp 200.000,- dari Puisi Esai Network. Sertakan nomor WA dan nomor rekening banknya. Jika ingin melihat puisi-puisinya yang sudah tayang, klik banner Puisi Minggu di bawah ini:
