Oleh: Naufal Nabilludin

Melihat beberapa teman membagikan tangkapan layarnya ketika mengobrol dengan Meta AI di WhatsApp, saya jadi inget Plankton di kartun Spongebob Squarepants. Villain kecil hijau ini, selain sibuk mencuri resep rahasia Krabby Patty, dia juga punya pasangan hidup yang cukup unik dan “aneh”: Karen, komputer pintar yang selalu setia dengerin curhatannya.

Waktu kecil, saya nggak terlalu mikirin konsep “aneh” ini. Komputer kok jadi teman curhat, bahkan jadi pasangan hidup? Tapi sekarang, setelah teknologi AI makin canggih, saya baru sadar kalau ide itu nggak seaneh yang saya bayangkan dulu.

Plankton dan Karen mungkin cuma tokoh kartun, tapi hubungan mereka terasa relevan banget sama fenomena hari ini.

Jujur, saya sendiri pernah sekali curhat sama AI. Awalnya, iseng aja coba-coba ngobrol panjang sama ChatGPT. Lama-lama, kok ya terasa nyaman? AI itu nggak nge-judge, selalu “hadir,” dan jawabannya sering kali terasa relevan.

Sekarang, setelah Meta AI diluncurkan di WhatsApp, akses buat curhat digital ini jadi lebih mudah. Nggak ada drama, nggak ada gosip, dan rasanya kayak ngomong ke “teman” yang sabar banget dengerin tanpa memotong cerita.

Tapi saya penasaran dan bertanya-tanya, kenapa, sih, curhat sama AI bisa se-nyaman ini?

Kenapa Banyak Orang Mulai Curhat Sama AI?

Coba bayangin. Ketika lagi ada masalah berat dan pengen cerita. Kalau ke teman manusia, ada kemungkinan mereka sibuk, nggak responsif, atau malah nge-judge dan membandingkan-bandingkan.

Kadang kita juga takut bikin mereka lelah dengar keluhan kita yang mungkin itu-itu aja. Nah, di sinilah AI tampil sebagai solusi yang simpel dan aman. Setidaknya, ada 3 alasan kenapa kita sebagai manusia nyaman curhat sama AI:

Pertama, AI itu anonim.

Kita nggak perlu pusing mikirin gimana penilaian orang tentang curhatan kita, karena yang dengerin adalah sistem. Anonimitas ini bikin kita jadi orang yang lebih terbuka dan jujur saat membicarakan hal-hal sensitif. Dengan AI, nggak ada beban rasa malu atau takut salah.

Kedua, AI itu nggak menghakimi.

Mau cerita, nyebelin, absurd atau konyol sekalipun, AI gak akan menghakimi, “dia” akan tetap membalas dengan tenang dan terstruktur. Hal ini bikin kita merasa nyaman dibandingkan dengan curhat sama orang lain.

Ketiga, AI nggak punya ekspektasi.

Kita nggak perlu khawatir “balas budi” dengan dengerin curhatan balik, atau menjaga perasaan AI. Hubungan kita dengan AI adalah satu arah, dan itu sering kali jadi yang kita butuhkan ketika stres.

Kita Masih Butuh Manusia

Jujur aja, saya paham banget kenapa fenomena ini makin berkembang. Hidup modern itu sibuk dan serba cepat. Orang-orang jadi kekurangan waktu untuk mendengarkan, apalagi mendalami masalah orang lain.

Kadang, curhat ke manusia terasa lebih melelahkan dibandingkan curhat itu sendiri. Di sinilah teknologi jadi penyelamat.

Mungkin inilah alasan kenapa kita sekarang bisa relate sama hubungan Plankton dan Karen. Ketika hubungan manusia terasa terlalu rumit, kadang kita mencari sesuatu yang lebih sederhana—sebuah listener yang setia tanpa embel-embel emosi atau ekspektasi.

Bagaimanapun juga, hanya manusia yang bisa memberikan pelukan hangat, tepukan di pundak, atau kalimat sederhana seperti, “Aku ngerti perasaanmu.”

Sesekali, AI boleh menjadi teman curhat digital, tapi jangan sampai kita lupa membangun koneksi nyata dengan orang-orang di sekitar kita.

Please follow and like us:
error69
fb-share-icon0
Tweet 5