
Setiap saya membaca puisi, tentu saya yang muallaf ini, mencoba menafsir intrinsik dan ekstrinsiknya. Harus bersih hatinya. Pada akhirnya, dengan segala teori apa pun, hakekat puisi itu adalah pengalaman puitik penulisnya. Jadi personal.
Ada yang riset pustaka, yaitu membaca buku-buku atau puisi karya penyair lain, sehingga puisi-puisinya cenderung “puisi kamar” (katanya kontemplatif), muter-muter (dianggap eksperimen), ada juga yang cenderung onani diksi atau yang biasa disebut akrobatik kata.

Ada yang riset lapangan, mencari dan menemukan dirinya di perjalanan sambil menyombongkan diri, bahwa “saya sedang berada di luar negeri”, sehingga yang membaca puisinya lebih memikirkan lokasi kota itu seperti apa, ya, ketimbang hakekat puisinya. Kadang penyair itu centil, ya, tidak apa-apa.
Sekarang sulit mencari puisi perlawanan yang menyuarakan zaman. Tapi kita tidak boleh gegabah bilang puisi itu jelek walaupun jelek, kecuali untuk kepentingan diskusi atau bedah buku.
Karya sastra itu bisa berbeda-beda, baik prosa mau pun puisi. Ada prosa liris (walaupun tidak jadi gerakan), puisi gelap, puisi terang, puisi esai (yang ini jadi gerakan).
Tulisan-tulian tentang polemik perubahan yang bisa diterima atau tidak bisa dibaca di sini.
Saya tidak memaksa kita harus terbuka menerima sesuatu yang baru karena sudah mengamini satu pakem walaupun kadang heran, katanya menyembah Roland Barthes (pengarang sudah mati – ekstrinsik). Tapi, jutru kita sering meributkan penulisnya daripada karyanya.
Tapi, apakah boleh meributkan pebulisnya? Ya, boleh saja asalkan tetap relevan dengan karyanya. Contohnya? Ya, jika karyanya menyuarakan tentan anti korupsi, si penulisnya harus terbebas dari korupsi. Alangkah lucu ya, jika ternyata si penulisnya koruptor.
Hidup memang rumit dan dengan segala risiko. Hanya waktu nanti yang bisa membuktikan, apakah karya yang kita buat bisa diterima khalayak atau tidak, bukan hanya diterima oleh sesama pembuatnya. Jika saya menulis prosa, kemudian sesama penulis prosa tidak mau menerima karya saya, itu tidak jadi soal. Tapi saya harus berpikir, apakah karya yang saya tulis itu diterima oleh khalayak luas atau tidak.

Seperti halnya puisi esai yang ditulis oleh teman-teman saya – Denny JA dkk. Setelah 12 tahun masih ditolak keras kehadirannya oleh para penulis puisi di negeri ini. Tapi faktanya, puisi esai semakin membesar dan bergerak hingga ke negara-negara Asean, bahkan Kairo, Mesir.
Bahkan terminologi puisi esai sudah masuk ke Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Puisi esai adalah ragam karya sastra yang menyampaikan pesan sosial dan moral melalui kata-kata sederhana dengan pola syair. Puisi esai dapat berupa fakta, fiksi, dan catatan kaki. Sementara itu, puisi menurut KBBI adalah ragam sastra yang bahasanya terkait oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan bait.
Pada akhirnya, karya yang kita tulis akan bergerak menemukan pembacanya. Dengan cara apapun, jika pembaca tidak suka, ya, tetap tidak suka.
Gol A Gong
