Oleh Gol A Gong
Suatu hari, saya mendapat paket buku dari Denny JA. Ketika saya buka, buku berjudul: Rumah Daging dan Pikiran (JBS, 2023) karya Malkan Junaedi. Tidak ada pemberitahuan, apakah ini buku prosa, puisi, atau esai. Tapi ketika saya baca, melihat susunan bentuknya, jelas ini buku antologi puisi. Respon saya dengan puisi Malkan ada di bagian pertengahan tulisan ini.
Kemudian saya diundang DJA untuk menghadiri Festival Puisi Esai Jakarta II, 13-14 Desember 2024 setelah 12 tahun saya menolak terus. Saya datang.
Kemudian “huru-hara” terjadi di WAG Ruang Sastra antara 16-18 Desember 2024 karena kedatangan saya ke Festival Puisi Esai Jakarta II. Beberapa mengatakan “saya diberi asupan DJA”, “duta puisi esai”, dan diksi yang sebetulnya kurang mengenakkan. Tapi tidak apa. Saya anggap itu dinamika dalam grup tertutup Ruang Sastra. Tapi saya harus menjelaskan duduk perkaranya agar publik sastra tahu.
Pertama soal “saya diberi asupan DJA”. Itu betul. DJA membantu media online https://golagongkreatif.com untuk memberi honor penulis yang puisi-puisinya tayang di kategori/rubrik Puisi Minggu, juga honor adminnya. Soal kedua tentang “duta puisi esai”, tidak apa-apa jika itu sesuatu yang baik.
###
Ya, penting untuk menyampaikan apa yang selama 12 tahun ini saya pendam. Ternyata saat ini waktunya, karena saya didesak-desak terus – seolah pesakitan. Seolah puisi esai itu benda haram. Seolah mereka yang status quo itu harus didengar dan dituruti. Seolah yang merapat berteman dengan DJA itu musuh. Bahkan tanpa menulis puisi esainya pun sesuatu yang tak bermoral. Hina saja! Saya itu berteman baik dengan DJA seperti juga dengan yang menulis puisi esai (dan yang menulis puisi esai kemudian mengembalikannya).
Ini persoalan sebetulnya muter-muter saja. Sudah tersimpan selama 12 tahun. Persoalan bahwa saya mendukung puisi esai – padahal saya tidak menulis puisi esai dan tidak menerima honor puisi esai (beberapa penulis mengaku sudah mengembalikan lagi honornya, salah satunya Sihar Ramses yang sudah menunjukkan bukti transfernya).
Saya berkata kepada DJA dkk, “Dihina seperti ini terus, sekalian saja saya menulis puisi esai. Sebagai mantan wartawan, saya akan riset!”
Apalagi ketika berdebat soal puisi esai jelek, saya membalas, “Emang puisi kamu bagus? Mana lihat, seperti apa puisi yang bagus itu?”
Mereka menceramahi saya tentang “rukun puisi” (tanya saja soal ini ke Artificial Intelligence). Rukun puisi itu tidak saya tolak dan tetap saya anggap sebagai produk masa lalu. Tapi saat DJA dkk mengonsep puisi esai, ya biarkan saja. Tidak suka, ya, tidak apa-apa. Jadi saya mengamini teori Evolusi Darwin, yang juga itu bisa terjadi dalam cara berpikir. Kata Enstein juga, bahwa ilmu pengetahuan terbatas, tapi imajinasi itu tak terbatas. Puisi dengan segala jenis kelaminnya itu sangat kuat unsur imajinasinya.
Beberapa memposting link portal berita penolakan puisi esai secara akademis, juga demo-demo sporadis seolah Sastra Indonesia kiamat. Dengan kredo “yang bukan penyair, silakan bergabung” sebetulnya DJA sudah dengan jelas meletakkan posisi diri dan konsep puisi esainya, yang didukung Agus R Sarjono, Jamal D Rahman, dan Berthold Damshauser, yang secara keilmuan bisa dipertanggungjawabkan.
Istri saya merespon, bahwa tampaknya puisi esai cocok untuk emak-emak sebagai cara menuangkan isi hati dan pikirannya. “Kami para ibu takut melihat iklim puisi di sini. Padahal puisi esai bisa sebagai transisi ke jenis puisi mainstream. Konsepnya lebih memudahkan aku merumuskan ide-ide ke dalam puisi,” kata istri saya. “Aku boleh ya, nulis puisi esai?”
Jawab saya, boleh. “Sebagai suamimu, aku akan melindungimu jika ada yang menghina ke pribadimu gara-gara kamu menulis puisi esai. Tapi jika puisi esaimu dibilang jelek, anggap itu kritikan dan tingkatkan kualitasnya di puisi esai berikutnya.”
Lihat, dampak dari kredo “yang bukan penyair, silakan bergabung” itu, bukan cuma istri saya yang tertarik, tapi dari Sabang hingga Merauke, yang bukan penyair menyampaikan ketertarikan untuk menulis puisi esai. Mulai dari ibu rumah tangga, akademisi bergelar doktor, guru, ASN, dan sekarang masuk ke Gen-Z. Tapi dari kelompok yang menolak, terus saja melakukan kampanye negatif, itu tidak produktif.
Realitasnya puisi esai terus menggurita dari Sabang hingga Papua, menyeberang ke negara-negara Asean, bahkan Kairo. Saya jadi teringat gerakan membaca dan menulis fiksi islami Forum Lingkar Pena yang digagas Helvy Tiana Rossa pada 1998 dan gerakannya mendunia hingga sekarang.
Saya juga menyodorkan fakta, bahwa demo, protes, hinaan, caci-maki ke soal intrinsik-ekstrinsik puisi esai tidak berdampak apa-apa. Justru terminologi puisi esai resmi masuk di KBBI pada 2020. Baca saja:
Puisi Esai adalah ragam sastra berisi pesan sosial dan moral melalui kata sederhana dan pola tertulis berbait-bait, berupa fakta, fiksi, dan catatan kaki
Sedangkan puisi menurut kbbi adalah ragam sastra yang bahasanya terkait oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan bait.
Negara sudah hadir menengahi ini – saya rasa. Kalau kelompok yang menolak puisi esai masih belum menerima, tidak ada masalah. Namanya juga demokrasi. Negara sudah mengatur dan melindungi kebebasan berpendapat di Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 dan di UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia: Memberikan jaminan dan perlindungan terhadap kebebasan berpendapat.
Selanjutnya, oleh sebagian orang dalam grup WA Ruang Sastra, saya ditest untuk menunjukkan puisi yang bagus. Saya tentu menyebut Sapardi Djoko Damono dan Zawawi Imron, yang puisi-puisinya bisa menggetarkan saya.
Saya sertakan puisi Zawawi yang secara selera – pendekatan teori mimetik mungkin pas – sesuai dengan saya:
NAGASARI
Zawawi Imron
Membuka kulit nagasari
isinya bukan pisang madu
tapi mayat anak gembala
yang berseruling setiap senja.
Membuang kulit nagasari
seorang nakhoda memungutnya
dan merobeknya jadi dua
separuh buat peta
separuh buat bendera kapalnya.
Selesai membaca puisi ini, saya sebagai pembaca puisi merasakan hati saya bergetar, berguncang. Saya sudah sampaikan ini secara langsung ke Zawawi. Tidak penting lagi mengupasnya dengan rukun puisi yang selalu dijadikan patokan anggota WAG Ruang Sastra atau teori struktural, mimetik, Hermeneutika, dan apa lagi…
###
Di WAG Ruang Sastra, saya dengan jujur mengaku bukan penulis puisi yang bagus. Puisi saya jelek. Maka saya rajin membeli buku antologi puisi. Ratusan buku puisi saya baca. Sulit membuat hati bergetar. Membaca puisi itu ibarat sedang membuka jendela pelan-pelan, setelah terbuka lebar, saya melihat dunia yang luas. Dari kebiasaan membaca banyak puisi itu, otak saya cepat berpikir dan kemudian jadi insting.
Tapi masih saja mereka menyebut puisi esai salah. Ada anggota grup yang memposting link tentang Malkan dan menyuruh saya untuk membaca (tapi saya tidak buka). Saya jadi ingat ada buku Malkan yang diborong DJA dan dikirimkan ke saya. Lalu saya baca dan sertakan di sini:
SEMUA
.
.
.
dicatat
dengan
cermat
entah oleh apa
atau siapa
di suatu tempat
yang mungkin tak pernah
akan terjamah
Selain-Dirinya
*) Catatan dari saya: tipografi puisi aslinya di tengah. Saya menemukan kesulitan untuk melay outnya. Saya sertakan footnya di sini.
Saya sering iseng bermain-main dengan puisi yang saya baca, mengubah puisi menjadi prosa. Maka puisi Malkan ini saya perlakukan seperti itu dengan menghilangkan tiga simbol tanda baca “.” yang bagi saya tidak berbicara apa-apa. Sila lihat hasilnya:
SEMUA
Dicatat dengan cermat entah oleh apa atau siapa di suatu tempat yang mungkin tak pernah akan terjamah selain dirinya.
Nah, karena saya diminta menunjukkan puisi yang bagus dan jelek, maka puisi Malkan ini yang saya kategorikan jelek. Saya tidak perlu menganalisisnya dengan mempertimbangkan struktur, rima, metafora, tone, diksi, atau apa lagi…
Saya cukup menggunakan insting saja sebagai pembaca dan menjadikannya sebagai satu kalimat. Puisi yang gagal itu ketika tiap barisnya bisa disatukan tanpa tanda baca “koma” sehingga membentuk satu kalimat dan berakhir di tanda baca “titik”. Kecuali sekalian saja bikin prosa liris. Itu ilmu dasar puisi yang saya peroleh. Saya kan tidak memosisikan sebagai kritikus.
Puisi itu tidak membuat saya bergetar. Barangkali ini soal selera. Justru saya meminta kepada anggota WAG Ruang Sastra yang selalu menyebut rukun puisi untuk menunjukkan di mana bagusnya puisi Malkan itu.
Hubungannya antara teks dan pembaca, menurut Thomas Aquino, bahwa segala sesuatu yang diterima, diterima menurut cara si penerima. Jadi paling sederhana, menggunakan cara pendekatan estetika resepsi saja. Sudah cukup jelas ini soal interpretasi, selera, dan kritik.
Rupaya WAG Ruang Sastra yang tertutup ini membocorkan respon negatif saya terhadap puisi Malkan. Lalu Malkan menulis di medsos, meminta saya untuk menganalisis puisinya secara kritis. Sunlie Thomas Alexander yang mengabarkan tentang ini kepada saya.
Puisi setelah dituliskan, diterbitkan dalam bentuk buku (antologi) dan dilempar ke publik, bebas ditafsirkan. Apalagi jika meminjam kredo Roland Barthes: pengarang sudah mati. Tapi kita ternyata tidak mau mati dan memata-matai jagat raya. Saya rasa, abaikan saja kritikan saya ini. Mungkin Malkan menulis puisi itu bukan buat saya, tapi buat orang-orang yang pintar.
Saya tunjukkan lagi ya, sebuah puisi yang ditulis oleh seorang pelajar kelas 1 SMP di pulau Adonara, Flores Timur, NTT. Setelah mengikuti pelatihan menulis puisi dengan saya, anak itu menyerahkan tugas menulis puisinya:
PAYUNG
Setiap hujan aku memakai payung
Tadinya payungku ada dua
Kini setiap hari Minggu aku pergi ke taman
Menabur bunga
Kini payungku tinggal satu
Maret 2022
Saya bergetar membacanya. Silakan terapkan rukun puisi di puisi ini. Sekarang saya mau menyertakan puisi jelek saya di sini yang terinspirasi dari puisi Nagasari karya Zawawi Imron:
KERTAS KOPI
: untuk Zawawi Imron
Anak-anak petani kopi
melipat kertas kopi
berupa buntalan bola.
Menendang halaman kosong
tak bergaris tak bergawang
merusak panen kebun kopi.
Kertas kopi
teronggok di amis gudang
melipat tubuhnya sendiri.
Ketika kubuka
anak-anak petani kopi
tertidur di dalamnya.
*) Hayam Wuruk Hotel, Padang, puisi ini terumpul di buku puisi Air Mata Kopi (Gramedia, 2014), 3 Juni 2013
###
Dari debat kusir yang seru dan tetap berusaha keras menjaga adab kesopanan, saya menyimpulkan sementara bahwa kelompok yang berseberangan dengan puisi esai (dan saya sebagai yang mendukung puisi esai) itu didominasi anggapan, bahwa puisi esai itu sesat. Ada 3 hal yang saya simpulkan:
- Ada yang menerima puisi esai, tapi menolak gerakannya yang manipulatif.
- Ada yang menolak puisi esai karena tidak sesuai dengan rukun puisi, juga menolak gerakannya yang manipulatif.
- Ada juga yang menanyakan kenapa harus menolak puisi esai.
Saya kemudian menyatakan kepada kawan-kawan di WAG Ruang Sastra, bahwa:
1.Saya terbuka dengan puisi jenis kelamin apapun.
2.Harus realistis bahwa Puisi Esai selama 12 tahun semakin membesar.
3.Silakan teman-teman yang menolak puisi esai untuk audiensi ke komisi X DPR RI untuk mengeluarkan UU Larangan Puisi Esai karena dianggap aliran sastra sesat.
Sebelum saya tutup, saya ingin menguitp Aristoteles dalam bukunya yang berjudul “Poetica”, yang mengungkapkan tentang teori katarsis. Kata filsuf Yunani itu, pentas teater yang memunculkan peristiwa tragis, dramatis, yang bisa membuat kita takut, sedih, dan tidak terjangkau oleh pengalaman kita, bisa menimbulkan efek positif. Penonton itu akan merasa, bahwa kehidupannya yang pahit itu tidak seberapa dengan yang tadi dipentaskan. Barangkali puisi esai juga begitu.
Semoga catatan kecil ini bisa jadi sumbangsih fakta yang terjadi dari cara pandang saya, yang diseret-seret ke pusaran pro dan kontra puisi esai. Semoga dialektika ini tetap mendapat restu dari Hegel dan kita tetap bersahabat.
Tetap semangat
Gol A Gong
*) Membaca Itu Sehat, Menulis Itu Hebat
*) Berdaya dengan Buku