
Oleh Alifya Maheswari Putri W
Sejak kecil, Cassie sering mendengar orang memuji keindahan namanya. Di titik ini, dia sudah terbiasa. Namanya memang bagus, walaupun mungkin terlalu kebarat-baratan untuk dirinya yang asli orang Indonesia. Entahlah, tanya saja orang tuanya yang memberinya nama itu. Dulu, Cassie kecil, yang pernah diajari rasi bintang oleh ayahnya, pernah mengira namanya adalah kependekan dari Cassiopeia—konstelasi indah yang terbentuk dari lima bintang terang yang membentuk huruf W. Dia mengira kedua orang tuanya berharap dia secantik bintang. Tapi ternyata dia salah, karena saat bertanya pada mama, beliau menjawab bahwa Cassie adalah kependekan dari Cassandra.
“Kenapa Cassandra?” tanya Cassie, penasaran, tatkala umurnya 9 tahun.
“Yaah, mama terinspirasi dari mitologi Yunani. Konon, Cassandra adalah seorang pendeta dan peramal yang ahli dari Troya.”
“Mama mau aku jadi peramal?” Cassie terkikik.
“Nggak juga,” jawab mamanya geli. “Tapi namanya cantik. Sesuai, kan, sama kamu!” Wanita itu menyentuh ujung hidung Cassie dengan gemas.
Cassie kecil tertawa.

***
SMA Cipta Bangsa di Jakarta memang sekolah elit, tapi tidak ada yang bisa menutupi bobroknya sistem yang melindungi siswa-siswa brengsek di dalamnya.
Cassie duduk di salah satu kursi berlengan nyaman di depan meja kayu ek milik kepala sekolah, berang minta ampun. Seorang siswa laki-laki—Aditya, begitu menurut name tag di dadanya—duduk di kursi sebelahnya, rahangnya lebam dan ujung bibirnya berdarah. Matanya menyala-nyala, tapi kemarahannya tidak mungkin menandingi Cassie. Cassie praktis bisa merasakan anak itu memelototi bagian samping kepalanya. Peduli setan.
“Cassie, Cassie, Cassie…” Kepala sekolah, Pak Agung, mendesah putus asa. “Kamu ini kenapa, sih, berbuat gara-gara terus?”
Cassie melotot. “Bapak tahu, kan, dia ngapain ke saya?”
“Iya, iya,” Pak Agung menunjukkan kedua telapak tangannya di depan dada dengan gestur menenangkan. Entah kenapa gerakan itu hanya membuat Cassie lebih marah lagi. “Tapi kamu tadi bicaranya nggak terlalu jelas. Terlalu emosi, sih. Coba tenang dulu. Pakai logikanya.”
Menahan desakan untuk menyumpahi pria di depannya, Cassie menghembuskan napas. “Logika saya berjalan baik, Pak. Dan Bapak sudah dengar cerita saya. Saya sedang jalan di koridor kelas 12-A saat Aditya dan teman-temannya menyuit-nyuiti saya. Saya sudah berusaha mendiamkan, tapi lalu Aditya mulai mengikuti dan mencolek-colek pinggang saya. Saya sudah menegur dia secara verbal. Tapi kemudian dia meraba pantat saya—”
Tangan Pak Agung otomatis terangkat ke kedua telinganya. “Aduh, Cassie,” keluhnya. “Kamu bisa gunakan bahasa yang lebih sopan?”
Cassie melanjutkan ceritanya tanpa memedulikan protes itu, “—dia meraba pantat saya, jadi saya balik badan dan meninju rahangnya. Saya rasa itu sepadan.”
Pak Agung menatapnya seolah-olah kecewa. “Kamu nggak bisa menggunakan metode lain? Yang tanpa kekerasan?”
Cassie mengangkat alis. “Yang dia lakukan ke saya itu kekerasan, lho, Pak. Bapak tahu, kan?”
“Itu keisengan anak remaja—”
“Itu pelecehan seksual, dan Bapak harusnya tahu itu,” potong Cassie marah. “Saya minta dia diskors dua minggu. Dan setidaknya dapat 50 poin pelanggaran.”
Aditya melonjak di kursinya, matanya membelalak protes. “Pak, dia yang nonjok saya, harusnya dia yang diskors!”
“Karena lo brengsek!” teriak Cassie.
“Cukup!” seru Pak Agung. “Aditya, kamu diam dulu. Dan Cassie, dengarkan saya. Kamu tidak punya hak untuk menuntut hukuman. Statusmu dengan Aditya sama-sama siswa. Kamu bukan bagian dari Komite Disiplin, jadi kamu tidak memiliki kuasa untuk menjatuhkan hukuman.”
“Bukan, memang,” sahut Cassie dingin. “Itu tugas Bapak. Kalau memang Bapak becus dalam menjalankan tugas Bapak sebagai kepala sekolah dan bagian dari Komite Disiplin.”
Wajah Pak Agung memerah. Bibirnya terkatup rapat-rapat dalam upaya yang hampir sia-sia untuk menekan amarah. Saat dia membuka mulut untuk berbicara lima detik kemudian, suaranya tenang, licin, dan berbahaya, dan Cassie bisa merasakan gemuruh badai yang akan datang menimpanya.
“Cassie, kamu diskors tiga hari dan dapat 20 poin pelanggaran karena melakukan kekerasan terhadap siswa lain dan menghina tenaga pendidik,” kata Pak Agung.
Cassie membuka mulut untuk protes, tapi satu telapak tangan yang diangkat praktis membungkam protes itu sebelum bisa terdengar. “Cukup. Saya tidak mau mendengar apa-apa lagi dari kamu. Dan Aditya, kamu diskors lima hari dan dapat 50 poin pelanggaran. Sekarang kalian keluar dari ruangan saya, supaya saya bisa bicara dengan orang tua kalian.”
Cassie bangkit dari kursinya. Bagian belakang kakinya mendorong kursi itu ke belakang saking cepatnya dia bergerak—amarah meletup-letup dalam dirinya—menimbulkan bunyi derit yang menyakiti telinga. “Fine, oke. Hukum saja saya. Tapi kasih tahu saya, kalau memang Bapak nggak setuju dengan metode saya, memangnya apa yang harus saya lakukan untuk menangani ini dengan lebih baik?”
Pak Agung menatapnya lurus-lurus, matanya dingin. “Mungkin kamu bisa pakai rok yang lebih panjang lain kali.”
Selama sedetik, Cassie mematung. Berani-beraninya…
Dia ingin tertawa.
Dia ingin menangis.
Dia ingin menjerit.
Tapi dia hanya bisa menggeleng, tak percaya mendengar betapa absurdnya kalimat itu. Sarat penghakiman. Tanpa kepedulian.
Cassie keluar dari ruangan kepala sekolah dan, dengan sekuat tenaga, membanting pintunya.

***
Sejak kecil, Cassie sering mendengar orang memuji keindahan namanya. Tapi belakangan ini, dia menemukan makna lain selain penjelasan mamanya yang sederhana saat dia berumur 9 tahun.
Cassie suka belajar. Dia pernah membaca buku tentang mitologi Yunani yang membahas tokoh-tokoh mitos yang tidak seterkenal dua belas dewa-dewi Olympus. Mama benar, Cassandra adalah seorang pendeta dan peramal ahli dari Troya, dan dia memang dikenal sangat cantik. Tapi satu hal yang luput disebutkan mama adalah Cassandra memuja Apollo, dewa matahari, musik, dan obat-obatan. Suatu hari, Apollo merayunya dan hendak memerkosanya. Cassandra melawan dewa yang dia puja, suatu tindakan nan berani untuk dilakukan seorang mortal terhadap makhluk kahyangan macam Apollo. Dengan geram, Apollo mengutuk Cassandra agar ramalannya selalu benar, tapi kehilangan kredibilitasnya. Dia tidak akan pernah dipercaya oleh siapa pun lagi. Dan begitulah Cassandra kehilangan kepercayaan masyarakat dan keluarganya. Dia dapat membaca masa depan dan tak dapat memperingati siapa pun tanpa diolok. Frustrasi memenuhi dirinya, dan dia dianggap pembohong dan gila oleh orang-orang di sekitarnya.
Seorang wanita melakukan perlawanan terhadap seorang lelaki yang hendak melecehkannya dan dia dipaksa tunduk di bawah kuasa si lelaki. Seorang wanita menyaksikan perbuatan tak pantas yang akan dilakukan seorang lelaki dan kata-katanya tak dipercayai seorang pun. Cassie mendidih. Narasi itu terdengar familiar.
Namanya terasa lebih personal sekarang, setelah dia tahu cerita lengkap di baliknya. Itu salah satu motivasinya yang terkuat saat dia memutuskan untuk masuk kuliah jurusan hukum dan bekerja keras untuk menjadi advokat spesialis kasus-kasus kekerasan seksual dan isu perempuan. Cassie merasakan panggilan lirih, menggapainya dari lorong waktu sepanjang ratusan ribu tahun lalu, mengaburkan batas antara mitos dan realita, bergaung dan memantul dalam kepalanya. Mungkin sedikit kepingan Cassandra hidup dalam dirinya. Mungkin sedikit kepingan Cassandra hidup dalam diri setiap perempuan. Apa pun itu, Cassie tidak mau berdiam diri. Dia tidak sudi dibungkam lagi. Dan dia akan melakukan apa pun untuk memastikan tidak akan ada lagi saudara-saudara perempuannya yang menghadapi nasib yang sama.
Cassandra. Namanya Cassandra.
Kisah sang peramal itu mungkin relevan dengan bagaimana perempuan sering diperlakukan di hadapan laki-laki yang lebih berkuasa, tapi Cassie tidak rela membiarkan kisah itu menjadi takdirnya. Tidak akan pernah.
Dia akan melawan. (*)

TENTANG PENULIS: Alifya Maheswari Putri W – Lulusan Sastra Inggris yang mencintai buku. Dia sering menulis cerpen, esai, artikel, dan puisi. Selain itu, dia seorang penggiat isu gender dan seksualitas, pendidikan, serta kesehatan mental. Kontak dia melalui akun Instagramnya, @alifya31. Nomor rekening: 6041314289, BCA KCP Mall Bintaro Jaya Xchange, a.n. Alifya Maheswari Putri W.

CERPEN SABTU Cukup 1000 – 1500 kata. Teknik menulis baru diperbolehkan, kritik sosial, plot point, absurd, realis, surealis, boleh. SARA dan pornografi dilarang. Honor Rp. 200 ribu dari Ditjen Kebudayaan, Kemdikburistek RI. Terbit mingguan setiap hari Sabtu. Sertakan foto diri, bio narasi singkat, nomor rekening bank, gambar atau 3-4 ilustrasi yang mendukung – boleh lukisan karya sendiri. Kirim ke email golagongkreatif@gmail.com dan gongtravelling@gmail.com dengan subjek Cerpen Sabtu. Jika ingin melihat cerpen-cerpen yang sudah tayang, klik banner di bawah ini:
