“Ayah, boleh nggak aku buka pintu itu?” si bungsu yang masih berusia 7 tahun menunjuk ke pintu kamar berwarna hijau di ruang tengah.
Aku menggeleng.
“Kenapa nggak boleh, Ayah?”
“Kalau nggak boleh, ya, nggak boleh, Badran! Pasti ada alasannya!” Fani melotot.
“Tapi Badran pingin tahu alasannya, Kak!” si bungsu ngambek.
Kalau Badran sudah marah, dunia bisa runyam. Sebagai single parent, aku sering dibuat repot. Sebetulnya dokter sudah melarang kami punya anak lagi, tapi setelah Fani berumur 5 tahun dan bersekolah, rumah jadi terasa sepi. Kami memutuskan punya anak lagi. Risiko itu harus aku terima, Badran lahir selamat tapi ibunya tidak.
“Foto-foto ini, siapa, Ayah? Orang-orangnya hidup nggak?” Badran menunjuk ke dinding.
“Kata Om Karel, mereka adalah kakek-neneknya. Semua yang di foto itu, sudah meninggal.”
“Mereka jadi hantu nggak, Ayah?”
Aku hanya menggeleng.
“Badran pernah nonton di YouTube, kalau rumah tua ada banyak lukisannya, berarti rumah itu berhantu, Ayah.”
“Badran! Bisa diem nggak, sih?” Fani yang sedari tadi asik main HP bangkit dan masuk ke kamar depan.
BUM!
Pintu kamar dibanting.
Sore tadi kami tiba. Aku sudah berjanji mengajak liburan Fani dan Badran ke sini. Ada villa temanku yang boleh kami isi persis di pinggir danau.
“Tapi kau jangan buka itu pintu berwarna hijau, ya,” pesan temanku.
“Kamu kunci aja pintunya.”
“Justru itu, kenapa aku larang kau buka pintunya, karena itu pintu tidak bisa dikunci!”
“Emangnya ada apa di balik pitu berwarna hijau itu?”
“Ah, kau! Tidak usah banyak tanyalah soal pintu kamar berwarna hijau itu! Sudah, janganlah kau buka!”
“Ah! Si Badran itu rasa ingin tahunya besar sekali!”
“Ya, kau harus jagalah itu si Tuyul! Jangan sampai kau kecolongan!” Karel terbahak-bahak.
Aku meraih Badran, agar duduk bersamaku. Aku pandangi ruang tengah. Di dinding banyak foto keluarga dengan pakaian adat. Ada yang berfoto sendiri-sendiri, ada juga yang komplit. Aku perhatikan kursi-kursinya, terbuat dari kayu jati dan pliturnya sudah luntur. Badran malah meronta bangkit dan mendekati pintu kamar berwarna hijau itu. Tangan kanannya meraba-raba pintu yang aku tebak terbuat dari kayu besi.
“Jangan dibuka, ya.”
Belum juga Badran menjawab, terdengar teriakan Fani dari dalam kamar. Aku langsung melompati kursi, menyerbu ke dalam kamar depan. Tapi Fani muncul dengan wajah seperti orang tersesat.
“Kenapa kamu, Fan?” Aku meraba-raba wajahnya.
“Hantu! Ada hantu, Ayah!”
“Kamu ketiduran, ya!”
“Serem, Ayah!”
“Pasti mimpi! Ayah bilang kan, jangan tidur pas deket maghrib!”
“Lukisan di kamar itu, Ayah! Bisa bicara!” Fani menunjuk ke kamar depan. “Kita nyari hotel aja, Ayah!”
Terdengar jeritan Badran. Aku baru sadar jika pintu kamar berwarna hijau itu terbuka. Badran tidak ada. Aku berlari masuk ke dalam kamar. Fani masih memegangi tanganku.
Di dalam kamar yang tanpa lampu penerangan ada enam makam. Badran berdiri seperti patung. Tapi tubuhnya bergetar. Gerahamnya beradu.
“Badran,” suaraku tersedak. Aku raih tubuhnya yang dingin dan gemetar.
Badran menunjuk ke makam-makam itu.
Aku pangku Badran.
“Pindah, Ayah,” suara Fani serak, kedua tangannya memegangi kakiku kuat-kuat. Baru saja kami selangkah ke luar, pintu kamar berwarna hijau itu menutup sendiri.
*) Serang, 10 April 2023
CATATAN: Fiksi Mini ala Gol A Gong panjangnya 500 kata, 1 lokasi, 1 waktu, 1 peristiwa, dan akhir ceritanya mengejutkan (twist ending). Silakan kirimkan fiksi mini karyamu ke ke email : golagongkreatif@gmail.com dan gongtravelling@gmail.com. Dengan subjek Fiksi Mini. Sertakan 2 foto penulis, bio narasi 5-10 kalimat, 2-3 ilustrasi yang mendukung fiksi minimu, identitas diri dan nomor rekening bank.