Oleh Heru Hikayat

Pagi hari 20 Desember 2024, saya dibuat kaget dengan kontroversi seputar pameran Yos Suprapto di Galeri Nasional Indonesia (GNI). Rupanya citra dari peristiwa Yos Suprapto berpidato di depan pintu GNI yang terkunci, sudah beredar dari tengah malam sebelumnya. Malam, 19 Desember 2024, seharusnya adalah jadwal pembukaan pameran tunggal Yos Suprapto. Namun, tamu-tamu hadir ke GNI, hanya untuk mendapati pintu galeri terkunci dan ruangan gelap.

Saya butuh waktu untuk menuliskan hal ini; dan pada saat tulisan ini dibuat, lukisan-lukisan yang konon “bermasalah” telah diturunkan, dikemas oleh sang seniman sendiri, untuk kemudian dibawa pulang. Apakah kontroversi telah berakhir? Tentu tidak…

Foto https://www.detik.com/pop/culture/d-7701502/gni-tutup-sementara-usai-polemik-pameran-tunggal-yos-suprapto

Kronologi dan Pertanyaan-pertanyaan

Ini adalah urut-urutan peristiwa, sejauh yang bisa saya simpulkan dari berbagai sumber. Kurator pameran, Suwarno Wisetrotomo mengedarkan pernyataan tertulis, mengenai pameran yang dijuduli “Kebangkitan: Tanah untuk Kedaulatan Pangan” tersebut. Ia menyebut, ada 2 karya yang dianggap melenceng dari tema yang telah disepakati. Ia lalu meminta Yos Suprapto untuk tidak memamerkan 2 lukisan tersebut, namun sang seniman bersikukuh. Sebab tidak ada titik temu, sang kurator memutuskan mengundurkan diri. Niat untuk mengundurkan diri, pertama kali dinyatakan pada 16 Desember 2024. Pada edaran dari pihak seniman, disebutkan, ada 5 lukisan yang dianggap bermasalah. Ini pertanyaan pertama: jadi, karya yang dianggap bermasalah itu, sesungguhnya 2 lukisan atau 5 lukisan? Lalu, siapa sesungguhnya yang menganggapnya bermasalah?

Foto https://www.tribunnews.com/lifestyle/2024/12/18/pelukis-yos-suprapto-menggugat-kedaulatan-pangan-lewat-pameran-tunggal-di-galeri-nasional

Tribun lifestyle sempat mengedarkan berita tentang pameran Yos Suprapto, disebutkan pembukaannya adalah 17 Desember 2024. Bahkan, pada berita tersebut, ditayangkan foto Yos Suprapto bersama Djarot Mahendra (pada berita itu disebut sebagai Direktur GNI) berdiri berdampingan di ruang pamer, tampak seperti sedang memaparkan karya-karya yang sedang dipamerkan. Terlepas dari kesimpangsiuran tanggal pembukaan pameran di berita ini, tampaknya, hingga 17 Desember 2024, pameran Yos Suprapto masih dianggap “baik-baik saja”—padahal  bukankah pada 16 Desember kurator pameran sudah memberi sinyal pengunduran diri?

Konon, pemberitaan tentang tayang pameran 17 Desember itu hasil konferensi pers, yang digelar pada hari itu juga. Sekali lagi, terlepas dari kesimpangsiuran itu, toh tetap saja, para tamu yang sedianya hendak menghadiri pembukaan pameran datang pada 19 Desember malam. Kenapa GNI membiarkan para tamu tetap datang, padahal pihak kurator sudah mempersoalkan 2 lukisan di antara isi pameran dan mengungkapkan sinyal pengunduran diri?

Foto Google

Pada siaran tertulis pun pernyataan lisan yang teredarkan di media sosial, pihak GNI berikukuh bahwa mereka tidak melarang. Bahkan Menteri Kebudayaan RI, Fadli Zon pun membuat pernyataan bahwa tidak ada pelarangan. Sang menteri, dalam pernyataannya menggarisbawahi peran kurator. Pernyataan menteri sejalan dengan pernyataan Zamrud Setya Negara (Ketua Tim Museum dan Galeri Badan Layanan Umum Museum dan Cagar Budaya). Sebagai aparatur pemerintah yang menanggungjawabi GNI, mereka menyatakan bahwa kuncinya adalah titik temu antara seniman dan kurator. Karena tidak ada titik temu, maka GNI memutuskan menunda pameran Yos Suprapto.

Kurator pameran pertama menyatakan pengunduran diri pada 16 Desember 2024, artinya 3 hari sebelum jadwal pembukaan pameran. Ada cukup waktu untuk mencegah agar tamu-tamu tidak hadir pada 19 Desember malam, kenapa hal itu tidak dilakukan?

Pada sebuah Grup Whatsapp, Yos Suprapto sempat menyiarkan pernyataan tertulis yang berbeda. Ia menyebutkan bahwa 4 jam sebelum pembukaan pameran, ia diajak rapat dan diminta oleh pihak GNI untuk menurunkan 3 lukisan lain, selain 2 lukisan yang dianggap bermasalah oleh kurator pameran. Yos Suprapto menganggap jalan tengah atas keberatan kurator adalah, 2 lukisan itu ditutupi kain hitam (dan memang sempat beredar foto-foto dari 2 lukisan Yos Suprapto yang ditutupi kain hitam). Sementara, permintaan GNI untuk menurunkan 3 lukisan lain, tidak mendapati titik temu. Menurut pernyataan Yos Suprapto itu, kebuntuan tersebut memuncak 3 jam sebelum jadwal pembukaan pameran. Jika cerita versi Yos Suprapto ini benar, maka inilah sesungguhnya penyebab penutupan ruang pamer saat seharusnya pameran dibuka pada 19 Desember malam. Hal ini pula yang justru menjadi “panggung”: Yos Suprapto berpidato di depan pintu Ruang A GNI yang terkunci, dan citra dari peristiwa tersebut telah mulai tersebar sejak 19 Desember tengah malam.

Sumber https://www.instagram.com/p/DD-5icrTdBg/?igsh=MWgwbDR4d2JodXI1ZA%3D%3D

Saya akan menutup uraian krolonologis ini dengan 2 peristiwa pasca 19 Desember 2024. Pertama, peristiwa pengambilan lukisan dari GNI oleh Yos Suprapto. Pada 23 Desember 2024, 5 hari setelah karya-karyanya terkunci di dalam Ruang A GNI, Yos Suprapto memutuskan untuk membereskan sendiri karya-karyanya. Seno Joko Suyono mengunggah kesaksian di akun instagram miliknya. Menurut Seno, Yos Suprapto tiba di GNI pukul 11 siang bersama asistennya, Munir. Ada pula beberapa wartawan yang hadir saat itu. Namun, pihak keamanan GNI tidak mengizinkan Yos untuk masuk ke Ruang A, alasannya, sebab Djarot Mahendra sedang tidak berada di tempat. Pihak keamanan bersikukuh bahwa Yos harus menunggu, di ruang tunggu GNI. Masih menurut kesaksian Seno, Djarot Mahendra tiba sekitar pukul 6 sore, yang artinya Yos Suprapto, sang asisten, dan para wartawan menunggu sekitar 8 jam. Begitu pintu Ruang A dibuka, semua berlangsung serba cepat. 5 lukisan yang dianggap bermasalah diturunkan dari dinding pajang, langsung dibungkus, dan dimasukan ke dalam mobil pengangkut. Yos Suprapto memutuskan memulangkan karya-karyanya ke Yogyakarta.

Kedua, akun instagram bukusenirupa mengunggah seruan “Boikot Galeri Nasional Indonesia”. Pada seruan itu, dirumuskan 10 poin argumen. Saya hanya akan meringkas 2 poin saja di sini. 1) Tindakan GNI menutup ruang pamer adalah bentuk tekanan pada Yos Suprapto (dengan kata lain, poin ini menyangkal berbagai retorika pihak GNI dan Kementerian Kebudayaan yang menyatakan, “tidak ada pelarangan”); dan hal ini bukanlah dukungan atas kebebasan berekspresi. 2) Dalam beberapa dasawarsa terakhir, GNI dianggap tidak pernah sepenuhnya memanggungkan karya-karya dan ide-ide perupa terbaik Indonesia. Seruan ini, konon dirumuskan oleh Hendro Wiyanto.  

Sumber https://www.instagram.com/p/DD_85VMSYFi/?igsh=MXc0dmY2YnIwb3B3YQ%3D%3D

Medan Seni Rupa dan Pelembagaan

Tulisan pendek seperti ini tentu sifatnya meringkas, dan risikonya adalah penyederhanaan di sana sini. Medan seni rupa, sederhananya adalah kumpulan pelaku dan pemangku kepentingan dalam bidang seni rupa beserta segala interaksi dan kompleksitas jalinan hubungannya satu sama lain. Dalam medan ini ada kesepakatan, ada ketidaksepakatan, ada perdebatan, ada kompromi, ada nilai-nilai yang diagungkan, ada pula nilai-nilai yang dicela, dan lain sebagainya. Dari sini, tulisan ini akan fokus pada aspek penyelenggaraan pameran seni rupa, sebagai locus dari kontroversi seputar pameran tunggal Yos Suprapto di GNI. Tentu saja ada banyak sudut pandang yang bisa digunakan untuk menelisik insiden tersebut, ada banyak pula hal yang bisa dianggap spektrum masalah dan dianggap penting; tapi tulisan ini memilih untuk fokus pada aspek penyelenggaraan atau produksi pameran seni rupa, dengan alasan yang nanti akan dikemukakan.

Ada banyak pihak terlibat dalam penyelenggaraan pameran seni rupa, namun kontroversi seputar pameran Yos Suprapto sepertinya menyederhanakannya menjadi 3 pihak saja: seniman (atau disebut juga perupa) – kurator – ruang seni (galeri, ruang inisiatif, dan lain-lain). Baik pihak GNI maupun Menteri Kebudayaan dalam pernyatannya mendudukan seolah-olah di ruang pamer hanya ada negosiasi antara seniman dan kurator; sehingga alasan “penundaan” pameran dilakukan sebab antara 2 pihak tersebut tidak kunjung ada titik temu hingga menjelang waktunya pembukaan pameran. Pada kenyataannya, sebuah pameran seni rupa merupakan hasil perkongsian antara banyak pihak. Misalnya, siapa sesungguhnya pihak yang mendanai pameran; apakah pihak seniman, atau pihak galeri, atau pihak lain? Tapi tulisan ini akan tetap fokus pada 3 pihak tadi karena dalam pemetaan tersebut, ada kesan yang diapungkan, bahwa seolah-olah pihak galeri (juga pemerintah) tidak turut menentukan isi pameran.

Sumber Google

Menyimak baik pernyataan pihak seniman maupun pihak kurator, saya merasa mengerti argumen masing-masing. Pihak kurator yang menyebut bahwa 2 lukisan itu terlalu “vulgar” dan hanya berupa “makian” saja, serta merupakan opini sang seniman tentang praktik kekuasaan, hingga karenanya dianggap melenceng dari tema yang disepakati yakni tentang “kedaulatan pangan”. Sebagai kurator, saya sendiri mengalami bagaimana pentingnya menjaga rumusan gagasan yang telah disepakati sebagai rancangan pameran. Sebaliknya, saya juga merasa mengerti kenapa pihak seniman bersikukuh tetap memajang karya-karya tersebut—dan karenanya mengajukan kompromi dengan cara tidak menurunkannya namun “hanya” menutupinya dengan kain hitam (saya menempatkan kata “hanya” dalam tanda petik, karena tindakan itu sesungguhnya merupakan pilihan dari pihak seniman, yang tidak bisa disepelekan). Karena bukankah dalam kenyataannya persoalan (kedaulatan) pangan bertaut pula dengan isu kekuasaan? Sebaliknya saya merasa tidak mengerti sikap dan argumen dari pihak GNI. Tulisan ini tidak hendak terus berdiskusi tentang soal perasaan, melainkan hendak fokus pada status GNI sebagai ruang yang dimiliki negara, dibiayai dengan dana publik, dan satu-satunya galeri yang menanggung nama “Indonesia”.

Sumber Google

Nama Galeri Nasional Indonesia baru resmi pada 1998. Tahun-tahun sebelumnya, telah terselenggara beberapa kegiatan penting di tempat tersebut, di antaranya adalah Contemporary Art of the Non-Aligned Countries (Pameran Seni Rupa Kontemporer Negara-negara Non-Blok), tahun 1995, saat tempatnya masih bernama Gedung Pameran Seni Rupa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. Kelahiran sebuah galeri nasional tentu disambut gembira oleh para pemangku kepentingan, namun tentu juga tidak terlepas dari berbagai kritik. Di antara kritik itu ada yang mempertanyakan profesionalitas dan posisi GNI. Pertanyaan ini layak diajukan, di antaranya karena pada tahun 2000-an awal, ada banyak pameran di GNI yang diampu oleh galeri-galeri swasta. Saat itu, GNI masih berada di bawah kewenangan Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek RI. Singkat cerita, salah satu kendala utama menyangkut profesionalitas GNI adalah status resminya yang hanya berupa Unit Pelaksana Teknis (UPT). Sebuah UPT, kewenangannya terbatas. Jalan keluarnya adalah perubahan status dari UPT menjadi Badan Layanan Umum (BLU). Sebuah BLU dibayangkan dapat lebih luas kewenangannya dan lebih luwes pergerakannya, misalnya untuk merekrut tenaga profesional (kurator, direktur, dan lain-lain).

Sumber Google

Setelah beberapa tahun menjalani masa perumusan dan transisi, pada 16 Mei 2024 Badan Layanan Umum (BLU) Cagar Budaya dan Museum (MCB) diresmikan Mendikbudristek RI Nadiem Anwar Makarim. BLU MCB berwenang mengelola 18 museum dan 34 cagar budaya nasional. GNI adalah salah satu entitas yang dianggap “museum” dalam nomenklatur ini.

Pada siniar “Put Cast”, Suwarno Wisetrotomo menceritakan bagaimana dulu, dirinya dan beberapa kolega berposisi sebagai Dewan Kurator GNI. Dewan ini tiap akhir tahun mengadakan rapat, menyeleksi dan merumuskan rencana serta ajuan program GNI untuk tahun berikutnya. Hal ini berlangsung hingga masa krisis pandemik. Setelah krisis pandemik mereda, mekanisme ini tidak diberlakukan lagi, dan Suwarno mengaku tidak tahu menahu, bagaimana mekanisme perumusan program di GNI sejak saat itu. Saya menduga, pada masa inilah, transisi dari UPT ke BLU sedang berlangsung. Jika benar demikian, maka ini menguak pertanyaan lain lagi: kenapa transisi yang dianggap penting itu, seperti yang tidak transparan, dan bahkan mereka yang pernah didudukkan sebagai Dewan Kurator GNI pun tidak tahu menahu?

Bagaimanapun, sebagai galeri yang didapuk berskala “nasional” dan menanggung nama Indonesia, GNI sudah seharusnya menjadi teladan, menjadi tolok ukur bagi berbagai-bagai galeri lain di Indonesia. Jika benar perubahan status dari UPT menjadi BLU adalah upaya untuk “menjadikannya ruang komunal yang dinamis guna mendorong interaksi antara pengunjung dengan museum itu sendiri tanpa mengutamakan pencarian keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas…” (mengutip pernyataan Mendikbudristek RI saat peresmian MCB); maka kontroversi seputar pameran Yos Suprapto ini malah menjadi negasi atas semua niat baik itu. Kontroversi ini malah menunjukan ada masalah serius dalam pengelolaan GNI, terlepas dari apapun status resmi lembaganya.

Baca juga di sini esai tentang “Jalan Seni yang Berisik”.

Sangat ironis, bahwa kontroversi terjadi tidak lama setelah negara ini melantik presiden baru, menteri kebudayaan baru, juga sedang membangga-banggakan program repatriasi yang belakangan dianggap sebagai salah satu prestasi puncak BLU MCB. Barangkali sekarang ini tepat waktunya untuk mempertanyakan: apakah menggabungkan GNI ke dalam BLU MCB merupakan strategi yang tepat atau sebaliknya, malah kontra-produktif? Apakah negara ini menganggap sebuah entitas bernama “galeri nasional” itu penting atau hanya berupa pencitraan belaka? Apakah negara ini menganggap seni rupa sebagai sesuatu yang penting? (*)

*) Heru Hikayat, Kurator seni rupa, tinggal dan bekerja di Bandung
*)  Judul ini mengadaptasi judul buku karya Goenawan Mohamad

Please follow and like us:
error69
fb-share-icon0
Tweet 5