Oleh Muhzen Den
Menjelang akhir tahun 2024, si biru (motor Mio-ku) mulai ambek-ambekan. Setelah akinya soak dan tak bisa distarter karena kedaluwarsa. Kini si biru harus diengkol jika ingin hidup. Namun, pada Sabtu (28/12/24) menjelang siang, motor ini benar-benar ngadat parah.
Tanpa ba-bi-bu, aku dorong si biru healing hingga depan Perumahan Garden City Residence, Cengkong, Karawang, tempat tinggalku, tepatnya motor ini ditepikan ke bengkel yang ada di pinggir Jalan Cengkong. Awalnya aku betah menunggu, tapi setengah jam kemudian aku mulai bosan. Demi mengisi kekosongan, aku iseng tanya-tanya pemilik bengkel tersebut.
Namanya Sarki Hutapea (27). Dia adalah perantau dari Sibolga, Sumatera Utara, yang sudah delapan tahun di Pulau Jawa. “Aku merantau sejak lulus SMA, Bang. Sudah tiga tahun di Karawang, dan lima tahun di Bandung,” ujarnya sambil memutar kunci baut.
“Jadi montir bengkel jalanan ini?!” Tegasku.
“Iya, jadi montir. Bengkel ini juga bukan punyaku, Bang. Punya bosku. Aku cuma menjalankan saja.”
Sarki bukan pemilik bengkel ini, tapi ada pemodal sesama suku Batak yang membantunya. Sarki sempat melamar pekerjaan di pabrik, tapi dia nggak punya uang jika harus bayar.
“Sudah pernah lamar kerja. Tapi, aku nggak suka caranya. Harus ada orang dalam dan uang, Bang.”
Aku mendelik dan masih serius menyimak omongan dia.
“Iya, Bang. Kalau orang kaya ya gampang bayar masuk kerja. Kalau aku, ya nggak punya. Jadi aku belajar kerja jadi montir.”
Aku nggak tanya berapa bulan Sarki belajar jadi montir jalanan. Namun, sepertinya dia juga belajar dengan sesama montir bengkel jalanan lainnya, atau bisa juga autodidak.
“Kira-kira penghasilan dari bengkel ini berapa, ya?” Aku penasaran.
“Lumayanlah, Bang. Sebulan jika ramai bisa 10-15 juta.” Sarki masih memutar kunci baut lainnya. “Kalau dulu yang punya agak pelit. Sekarang baik. Buat rokok saja dia tanggung. Aku dapat gaji ya 3,5-4 jutaan.”
“Tinggal dimana sekarang?”
“Aku tinggal di bengkel ini, Bang.”
Aku sempat berpikir dia punya rumah atau ngekos di sekitar sini. Tak tahunya, bengkel ini jadi tempat kerja plus tempat tinggal Sarki.
“Kalau sudah beristri, niatku mau ambil perumahan di sini,” tambahnya.
“Emang sudah punya pacar?”
“Dulu sempat dekat dengan cewek sini, tapi pisah lagi.”
“Kenapa pisah?”
“Orangtuanya tiba-tiba berubah pikiran. Padahal aku dan anaknya sama-sama suka.” Keluh Sarki sambil tangannya tak mau diam mengoprek motorku.
Aku tidak mau terlalu jauh membahas pribadi Sarki. Tapi, aku senang melihat semangatnya bekerja untuk mendapat penghasilan. Bahkan, pada Desember tahun ini dia tidak sempat Natalan atau pulang kampung. Sarki hanya bisa berdoa dan mengirimi uang untuk orangtuanya di kampung.
“Aku sudah bertahun-tahun nggak pulang dan nggak Natalan. Paling kirim uang buat orangtua di kampung.”
Dalam hatiku, apa memang hampir rata-rata orang perantau harus tahan rindu pulang sebelum mapan. Sarki pun demikian. Dia nggak pulang dan Natalan bukan berarti lupa, tapi sibuk bekerja demi kehidupan yang mapan. Tak lama si biru sudah selesai diperbaiki. Sarki mengengkol motorku dan hidup kembali. Aku lega dan senang akhirnya bisa berjalan-jalan lagi dengan si biru.
“Berapa semuanya?”
“Rp93.000, Bang.”
Aku serahkan uang Rp100.000.
“Tak usah kembalian. Terima kasih banyak,” kataku sebelum aku meminta foto Sarki bergaya di bengkelnya.
“Sama-sama, Bang.”