Aku titi jembatan kecil yang menghubungkan dermaga dengan warung makan terapung di sungai Musi. Aku memilih duduk persis di dekat jendela supaya bisa menikmati jembatan Ampera yang merah dan membentang indah.

Seorang pelayan mendekatiku.
Aku memesan pindang patin. “Kepalanya ya, Mbak,” pintaku.
“Minumnya?”
“Jeruk panas.”

Aku kembali mengagumi pandangan ke jembatan Ampera yang dibangun Bung Karno pada 1962 dengan menggunakan dana perampasan perang Jepang. Permukaan sungai bergelombang ketika ada ketek – perahu motor melintas. Rumah makan terapung pun bergoyang-goyang.

Seorang perempuan berkacamata masuk dan mengambil tempat duduk di seberangku. Dia memanggil pelayan dan memesan seperti yang aku pesan. Di meja lain beberapa orang sedang asik berbincang dan makan dengan lahap. Aku memotret mereka dengan kamera HP.

“Maaf!” perempuan berkacamata itu menunjukku. “Jangan sembarangan foto-foto! Hapus, ya!” suaranya menandingi bising mesin ketek.

“Oh, maaf, maaf, ya.” Aku tersenyum dan mengangguk – menghapus beberapa foto close up dirinya. Tapi satu foto sudah berhasil aku kirim.

“Sini handphonenya!” wanita berkacamata itu tidak percaya.
Aku bangkit dan berjalan kepadanya. Aku perlihatkan layar monitor HP. Dia merebut dan memeriksa satu-persatu.

“Brengsek!” Dia lemparkan HPku ke meja.
Aku ambil HP dan kembali lagi ke meja tempatku duduk, berbarengan dengan pelayan yang menghidangkan mangkok berisi kepala ikan patin berkuah, dan sebakul nasi.

Aku langsung cicipi kuah ikan kepala patin. Segar-segar pedas. Tapi kedua mataku mengawasi pintu masuk ketika seorang lelaki bertopi dan berkacamata hitam masuk dan duduk di depan si wanita.

Kali ini HP aku arahkan kepada mereka. Aku rekam beberapa detik saja sambil makan. Pelayan datang lagi membawa sepiring lalapan berupa potongan ketimun, terong rebus, kol, dan daun kemangi. Juga di tangan kanannya minuman jeruk panas.

Aku makan dengan lahap, selain untuk menyembunyikan penyamaranku, juga karena memang lapar. Ketika aku menghabiskan minuman jeruk panasku, beberapa orang dengan kamera mengarah kepada mereka, bermunculan masuk ke rumah makan terapung.

Di belakangnyaa seorang perempuan yang wajahnya mirip artis sinetron menyerbu. “Dasar perempuan murahan! Pelacur jalanan!” telunjuknya menuding.

Sementara itu HPku berbunyi: ping! Notifikasi dari bank ternama. Sejumlah uang dengan 9 digit masuk ke rekeningku.

Si perempuan berkacamata berdiri dan mendorong orang-orang yang merekam dirinya.
“Duduk kamu!” si perempuan mirip artis sinetron mendorong si perempuan berkacamata.
“Sabar, Yayang,” si lelaki bangkit, memegangi perempuan berkacamata agar tidak jatuh.
“Kau juga! Duduk!” bentaknya kepada si lelaki.

Si lelaki duduk kembali.
“Lelaki tidak tahu diri! Sudah aku kasih makan, mobil, rumah!”
“Yayang, aku jelaskan…”
“Pokoknya mulai sekarang, kembalikan mobil dan rumah. Aku minta cerai!”

Aku segera berjalan menuju kasir, meminta jalan kepada orang-orang yang masih merekam. Kedua telingaku masih mendengar pertengkaran mereka.

Setelah membayar makan siang, aku meninggalkan rumah makan terapung. Ada perasaan prihatin terhadap persoalan mereka. Atau kadang ada rasa penyesalan sudah terlibat mengungkapkannya ke publik. Tapi pekerjaan memalukan ini dari para pemodal. Dengan cara hina mengadu-domba para model, produk yang mereka jual bisa melejit di pasaran. Dan beberapa kali skandal mereka terbukti mengangkat penjualan.

“Yayang! Dengar dulu!”
“Tidak perlu lagi alasan!”
“Dia Nurlela! Calon duetku nyanyi! Aku mau merekrutnya untuk album terbaruku nanti!”

Aku segera berlari meninggakan warung makan terapung.

*) Gol A Gong, Lubuklinggau, 24 November 2022

Please follow and like us:
error69
fb-share-icon0
Tweet 5