Oleh Abdul Salam

Peristiwa kelam itu sudah terjadi cukup lama, tapi tetap membekas di ingatan Santani, bocah yang waktu itu baru menginjak kelas empat SD. Sekira pukul sepuluh pagi, setelah waktu istirahat selesai, Santani dijemput oleh tetangganya untuk pulang segera.

Tak ada kata-kata dari mulut tetangga tersebut pada Santani mengapa Santani harus pulang terlebih dahulu. “Pak Guru, izin Santani untuk saya bawa pulang. Penting,” kata tetangga tersebut, lalu tetangga tersebut membisikan sesuatu ke telinga Pak Guru.

“Santani boleh pulang, ya!” kata Pak Guru dengan nada pelan.

Setelah sampai di rumah. Orang-orang kampung berkumpul. Dari banyaknya orang kampung tak terlihat ibunya di teras rumahnya. Santani menyaksikan itu bingung. Ada apa ini? Di antara rasa bingung Santani mencium amis darah. Ia lihat di depan pintu darah segar menggenang. Lalat-lalat berkerumun, dan sebuah alat pemotong kayu yang tadi pagi dibawa bapaknya tergeletak begitu saja.

Melihat banyaknya darah, Santani menangis. Tiba-tiba saja di dalam dirinya ada sesuatu yang mendorong untuk dia harus menangis, walaupun tak tahu apa yang sedang terjadi. Setelah itu,

Santani lari ke dalam rumah. Ibunya sedang dikumpul-kumpul oleh Bi Santinah, Bi Yani, dan Bi Rad. Mereka terlihat terus menerus meijit-mijit kaki ibu Santani dan mengipasinya dengan ilir.

Di sisi lain, di kamar yang tidak begitu lebar dua orang sedang mengaji di depan sesosok tubuh yang tertutup kain benting coklat.

Santani semakin keras menangis. Orang-orang didekat ibu Santani lalu mencoba menghibur hati Santani. “Sabar ya, Nong. Sabar. Ini ujian. ” Santai tetap menangis. Tidak lama kemudian, ibunya sadarkan diri dan bangun, lalu memeluk Santani anak semata wayangnya yang sedang menangis.

Setelah sedikit tubuh ibu Santani stabil, ia menceritakan bahwa bapaknya sudah tidak ada. “San, bapak sudah tidak ada. Tadi pagi bapak kecelakaan. Pohon asem yang ditebang bapak menimpa tubuh bapak.”

Dengan penasaran, Santani membuka kain benting yang menutupi tubuh bapaknya. Santai sangat kaget, bapaknya terlihat menyeramkan. Kepalanya penuh luka. Lidahnya terjur keluar. Tubuhnya penyek seperti dipalu godam besi yang besar.

*) Rumah Dunia, 31 Mei 2022

CERPEN SABTU Cukup 1000 – 1500 kata. Teknik menulis baru diperbolehkan, kritik sosial, plot point, absurd, realis, surealis, boleh. SARA dan pornografi dilarang. Honor Rp. 200 ribu dari Honda Banten. Terbit mingguan setiap hari Sabtu. Sertakan foto diri, bio narasi singkat, nomor rekening bank, gambar atau 3-4 ilustrasi yang mendukung – boleh lukisan karya sendiri. Kirim ke email golagongkreatif@gmail.com dan gongtravelling@gmail.com dengan subjek Cerpen Sabtu. Jika ingin melihat cerpen-cerpen yang sudah tayang, klik banner di bawah ini:

Please follow and like us:
error69
fb-share-icon0
Tweet 5