Oleh Daru Pamungkas

Ada banyak hal yang ingin kuceritakan kepada Abdul Salam, itulah perasaan yang sering mucul setiap aku datang ke Rumah Dunia. Dia bukan hanya sekadar sosok seorang presiden Rumah Dunia, atau senior relawan yang datang dan pergi tanpa kesan, dia adalah teman, sahabat, keluarga, dan kakak yang selalu ramah menyambut siapapun yang datang.

Tulisan ini mengalir begitu saja, entah ini akan menyembuhkan luka atau tidak, namun sejak kabar duka itu datang pada Senin 30 Desember 2024 malam pukul 02.27 WIB dini hari, hingga hari ini, empat hari kepergiannya, aku masih belum bisa menerima atas apa yang sudah terjadi. Meski kematian ialah hal yang pasti, namun meninggalnya Abdul Salam bukanlah sesuatu yang mudah dilupakan dari ingatan, kenangan, dan perasaan.

Sesekali memang aku bisa merasa terbebas dari bayang dan kerinduan pada sosok presiden ini, ketika aku sedang bercanda dengan istri dan anakku yang masih berusia enam bulan, atau bercanda tawa dengan teman kantor dan bermain gitar, namun itu hanya sesaat.

Ketika kesunyian menghampiri, deg, entah pagi, siang atau malam, nafas ini terasa berat, seolah keiklasan itu hanyalah omong kosong. Sebuah kata-kata klise yang disampaikan banyak orang di situasi-situasi tertentu, yang seolah-olah ingin menunjukkan rasa empati, namun sia-sia, tak berguna.

Persis seperti belasan tahun lalu ketika aku ditinggal pergi ibuku selamanya di usia SMP dan ayahku saat SMA, orang-orang menyampaikan hal yang sama, ikhlas, dan sampai hari ini, ketika sudah dewasa dan menikah, aku masih belum bisa ikhlas menerima kenyataan ini. Ya bagiku, terkhusus perihal kematian, ikhlas itu hanya omong kosong.

Namun dua hal yang membuatku kuat saat itu, ialah berusaha untuk menyadari, jika hidup harus terus berjalan dan Tuhan selalu ada, untuk menemaniku, membantu, menolong, dan memberikan segala hal-hal baik dalam hidup, sebagai pengganti kepergian kedua orangtuaku. Sekali lagi, bukan kata ikhlas menerima, apalagi berdamai dengan kenangan tentang kepergiannya.

Tapi itu ampuh untuk mengobati luka kematian kedua orangtuaku, bukan untuk kenyataan yang saat ini terjadi, entah harus bagaiamana, aku pun tidak bisa mencari tahu alasan apa yang akan membuatku kuat melepas kepergian Abdul Salam, terlalu banyak kebaikan-kebaikan, perhatian-perhatian, candaan, bahkan, hal-hal sensitif lainnya dalam lingkup pertemenan yang tersimpan, hingga membuatku sulit melupakan.

Bang Salam, di hari kau disalatkan, aku melihat istrimu Dio dan buah hatimu Ozora berdiri di pelataran Masjid, menunggu jamaah lain selesai membacakan doa untukmu. Air Mataku tak bisa kubendung, aku tak bisa berbuat apa-apa, kukecup kening Ozora, anak tampan yang akan meneruskan perjuangan ayahnya di Rumah Dunia.

Selamat Jalan, Bang. Maafkan Daru, adikmu yang banyak membuatmu kesal selama menjadi relawan Rumah Dunia.

*) Daru Pamungkas adalah Relawan Rumah Dunia sejak 2013

Please follow and like us:
error69
fb-share-icon0
Tweet 5