
Oleh Rudi Rustiadi
Kamu tahu, malam itu Rumah Dunia gamang? Ingin rasanya bergembira menyambut ingar bingar pergantian tahun, tapi selimut duka cita yang tebal membungkus perasaan itu dengan erat. Di penghujung Desember 2024 Rumah Dunia memang Berkabung. Salah satu relawan terbaiknya pulang, meninggalkan serpihan-serpihan kenangan yang terserak di hati relawan dan para sahabatnya. Iya, itu kamu!

Sepelas Magrib, doa-doa paling ikhlas kami lantunkan ke langit untuk menemani dan menerangi jalan kepulanganmu. Kami yakin kamu sedang tersenyum semringah penuh semangt mengendarai amal baik dan ibadahmu menuju tempat terbaikmu. Susunan acara rutin khas pergantian tahun dengan gegap gempitanya seketika kami ganti, dengan penuturan kesaksian dari kepingan-kepingan peristiwa yang bersemayam di hati para sahabatmu.


“Dia adalah orang yang datang kepada teman bukan saat temannya sedang senang, dia justru adalah orang yang datang kepada teman yang sedang terpuruk,” tutur seorang sahabat.
“Dia adalah tali yang terus berusaha mengikat orang untuk tetap terhubung dengan Rumah Dunia,” tutur sahabatnya yang lain.


“Dia pintar, dia tekun, dia bertanggung jawab, dia kawan yang baik, dia mentor yang bagus, penuh dedikasi, semangat, ramah,” tutur seorang sahabat yang jarang bertemu kamu.
“Dia adik saya, dia juga menjelma kakak saya di waktu-waktu saya membutuhkan figur seorang kakak,” tutur seorang sahabat yang sama sekali tidak punya hubungan darah denganmu.


“Terima kasih sudah menjadi orang baik,” tutur seorang sahabat yang tidak tahu bagaimana membalas kebaikanmu.
“Selamat jalan, Penyair,” tutup seroang sahabat di kejauhan.
Malam itu meski kita terpisah jarak teramat jauh, tapi aku yakin kamu mendengar kesaksian-kesaksian para sahabatmu. Malam itu hanya aku yang tidak memberikan kesaksian. Malam itu aku menjelma dirimu, menyambut para sahabatmu, mengucapkan terima kasih kepada para sahabat yang sudah meluangkan waktu untuk datang memberi kesaksian atas kelakuan-kelakuanmu.


Kalaupun aku diminta untuk bersaksi, aku tidak sanggup. Aku juga bingung kesaksian atas peristiwa dan kenangan mana yang harus kuceritakan. Tidak ada peristiwa istimewa saat kita bersama. Aku pernah pergi ke laut bersamamu, aku pernah pergi ke hutan, ke bukit, ke pulau juga ke pasar juga bersamamu. Semuanya tidak ada yang istimewa, semuanya sangat istimewa.
Pagi di waktu kepulanganmu. Selepas Subuh, aku menerobos serbuan hujan. Datang ke rumah ibumu dengan kuyup. Aku mengaji di kamarmu sebelum kamu pergi, aku sempat mengintip ingin melihat wajahmu sebelum kamu pergi, tapi tidak berhasil.


Saat kamu mandi lagi-lagi aku ingin mengintip, melihat wajahmu, tapi istrimu melarang. Aku menghormatinya. Maka terakhir kali aku melihatmu saat aku menjengukmu. Aku senang bisa memijat paha dan betismu, saat kauminta waktu itu. Aku juga memapahmu melangkah beberapa langkah di ruangan yang serba putih.
Kamu ingat, kan, para sahabatmu juga datang saat kamu pulang? Mereka bertanya kepadaku, kapan datang? Pagi, jawabku. Hujan-hujanan dong? Tanya mereka. Iya kataku. Aku hanya mengiyakan. Aku sebenarnya ingin mengatakan, tak masalah aku hujan-hujanan karena apa yang kamu lakukan lebih dari sekadar kamu hujan-hujanan untukku.


Maka di pagi buta disertai hujan deras itu, tidak ada yang kupikirkan selain ingin cepat bertemu denganmu. Melihat wajahmu. Menjadi orang pertama dari sekian juta sahabatmu, yang mengantarmu pulang.
Pagi itu kamu pulang, di hari lain aku dan para sahabatmu akan menyusulmu pulang.


Waringinkurung, 2 Januari 2025
*) Rudi Rustiadi adalah relawan Rumah Dunia sejak 2014 dan Presiden Rumah Dunia 2025-2030


