
Oleh Saepur Rohman
—Sebuah Obituari
Untuk Terakhir Kalinya
12 Desember, saya mengirim pesan kepada Abdul Salam (almarhum) bahwa ia harus mencari karyawan orang Jawa yang ulet, punya loyalitas tinggi terhadap pekerjaan, dan bertanggung jawab di dunia kerja. Saat itu, Salam sedang mengeluhkan karyawannya di Rendez-Vous Cafe yang selalu alpa saat dibutuhkan. Kabarnya, ia baru saja pulang dari Jakarta.
“Hehehe,” jawabnya singkat melalui sambungan WhatsApp.
Hanya sepekan setelah itu, kabar mengejutkan menghantam saya. Salam membutuhkan donor darah. Pikiran tentang penyakit mengerikan coba saya buang jauh-jauh. Saya hanya berharap dari kejauhan agar ia cepat pulih seperti sediakala. Saya pun mulai memantau kondisinya lewat unggahan istrinya, Dio.
Keesokan harinya, Salam masih membuka WhatsApp dan melihat status saya. Hati saya sedikit lega. “Pasti ia sudah sembuh,” pikir saya. Tapi, harapan itu pupus ketika beberapa hari berikutnya, Dio mengabarkan kondisinya semakin memburuk. Dengan hati-hati, saya bertanya kepada Naufal, seorang relawan Rumah Dunia, tentang penyakit apa yang diderita sang penyair ini. Jawaban itu membuat saya terpukul: gagal ginjal.

Rasa Tak Berdaya
26 Desember, saya bertemu Nita, sesama relawan Rumah Dunia, di Museum Sonobudoyo. Kami berbincang banyak, terutama tentang Salam dan penyakitnya.
“Dulu bapak saya juga gagal ginjal. Dirawat sampai lima tahun, dan akhirnya berpulang,” katanya dengan suara getir.
“Apa penyebabnya?” tanya saya pelan.
“Pola hidup yang amburadul. Terutama suka minuman bersoda. Sehari bisa tiga kali bapak minum Big Cola.”
Ingatan saya melayang jauh ke kebiasaan Salam. Namun, bukankah ia mulai menjalani hidup sehat? Ia rutin mengonsumsi makanan rebus seperti sayur dan telur, bahkan rajin berolahraga. Tapi, mungkin pikirannya terlalu sering diperas oleh hal-hal kecil, seperti masalah di kafe. Atau barangkali, ia terlalu memforsir diri dalam proyek-proyek edit dan tata letak buku?
Sepulang dari Jogja, Nita sempat menjenguk Salam dan berkata bahwa kondisinya semakin parah. Kami hanya bisa berdoa bersama, berharap ada keajaiban.
“Penyakit ini bisa sembuh, kan?” tanya saya lirih, mencoba menguatkan diri.
“Kalau ada keajaiban, bisa,” jawabnya. Tenggorokan saya tercekat.
30 Desember, pagi buta. Dua pesan masuk ke ponsel saya. Dari Naufal dan Nita. Abdul Salam telah menghembuskan napas terakhirnya. Dunia seolah runtuh. Dengan tangan gemetar, saya membuka Facebook dan menemukan kabar duka itu benar adanya. Sang penyair telah berpulang.

Abdul Salam: Penolong Tanpa Pamrih
Saya mengenal Abdul Salam di Rumah Dunia, saat saya mendaftar Kelas Menulis Angkatan 33 pada 2018. Salam adalah sosok yang hangat, rendah hati, dan ceria. Ia mudah membuat orang merasa nyaman.
Sosok ini juga beberapa kali menyelamatkan hidup saya. Ketika lapar, dan tidak punya uang, saya menjual buku kepadanya. Ia selalu membelinya tanpa banyak tanya. Pernah ia menyarankan saya menjadi relawan agar bisa makan di Rumah Dunia. Tapi, waktu itu saya belum tertarik.
Pada 2021, akhirnya saya menjadi relawan. Salam menerima saya dengan syarat sederhana: bantu kegiatan dan luangkan waktu untuk menyapu halaman Rumah Dunia. Bersama relawan lain, kami banyak belajar dan bekerja bersama. Salam selalu hadir, bukan sebagai pemimpin yang hanya memberi perintah, tapi ikut terjun membantu.

Salah satu kenangan paling membekas adalah kebiasaannya menolong orang lemah. Ia pernah memborong dagangan seorang pedagang tua yang sepi pembeli, lalu membagikan dagangan itu kepada kami. Ketika saya bertanya mengapa ia melakukannya, ia hanya menjawab, “Biar bapak/ibunya cepat pulang dan istirahat.”
Ada banyak kisah kebaikan Salam yang bersarang di hati kami. Semua orang kehilangan sosoknya, sebagaimana ia telah memberikan dirinya untuk banyak orang tanpa pamrih.
Kepergiannya adalah kehilangan besar. Tidak ada kabar yang lebih menakutkan selain datangnya kematian. Selamat jalan, Abdul Salam. Semoga surga menjadi tempatmu beristirahat.
Yogyakarta, 2 Desember 2024




