Pada Desember 2024, saya menjejakkan kaki di Negeri Para imam dan nabi: Mesir. Ketika mengampu kelas menulis dua hari, saya bertemu Alif, pemuda salih, baik hati, penuh mimpi, dengan visi hidup yang membuat saya sering mengenang, “Di usia segitu, tampaknya saya hanya sibuk bernasyid dan membaca Sabili.”

Selanjutnya, sisa hari di Kairo adalah tentang kami yang saling “mencari”. Sampai hari ini kami tampaknya belum benar-benar “menemukan”. Seru dan kaya kejutan. Ah, saya tak punya banyak cara untuk merayakan kebaikan Kairo, selain menghadiahi azhary itu dengan lima pucuk sajak di hari lahirnya yang ke-21.

Benny Arnas

Benny Arnas
Delima 21

Kukenalkan kepadamu:
Delima merah sekali

Asal kau tahu, bukan semata tahu

Tapi, merah adalah takdir-Nya yang berani
Manisnya adalah pertemuan tanpa rencana
Masamnya adalah mimpi-mimpi penuh liku
Dan sepatnya adalah rahasia:
mengapa dua saudara berjumpa di masa depan?

Kukenalkan kepadamu,
Diriku yang tiba-tiba menjadimu
Merah sekali, delima dari jantungku
di pengulangan hari lahirmu: dua satu

Kairo, 9-12-2024

#

Benny Arnas
Tiba Sebelum Berangkat

Mulanya, asiir alpukat hijau muda
Lalu dingin udara lari pagi memberinya nama
Satu, dua, tiga, kita punya banyak sama

Drama dan lelah lesap dalam kepala
Dalam hitungan hari tanpa jeda:
Seperti apa berangkat memunggungi tiba?
Seperti rindu, bahkan sebelum kita pisah

Kairo, 9-12-2024

#

Benny Arnas
Menjadi Arab

Saban kau berbicara
Takjubku hilang kendali
Setahun di Hadramaut menjadikanmu tangguh
Tahun pertama di Kairo pukaumu sungguh

“Kenapa harus berteriak?” kataku tiap menyaksikanmu
adu bicara dengan laki-laki Mesir

“Hanya begini caranya agar didengar,” jawabmu, terang dan teduh

“Kau akan jadi orang salih yang dicintai,” ramalku seraya meraba garis telapak tangan kirimu. “Kali ini, takdir kita tak sama,” suaraku layu begit menyadari bahwa parfum dan sepatu kita yang sama tak banyak membantu

“Tapi …,” kau tampaknya sengaja menggantungkan kalimat, “aku ragu dengan masa depanku.”

“Tunjuk saja,” teriakku. “Leiden atau Zurich!” lalu kita doakan bersama “Perkara mantra itu akan jatuh di mana, bukan urusan kita,” tegasku

“Meskipun,” gumam hati kecilku,
“ia bisa jatuh tepat di kepalamu, saat ini …”
Di Tanah Arab yang menumbuhkan hikmah
Dan orang baik sepertimu tak punya piihan selain iya

Kairo, 9-12-2024

#

Benny Arnas
Di Makam Sang Imam

bakda subuh, dengan mata bengkak,
dan kelelahan yang masih menggelayut
kita tahu kalau kurang tidur membuat kita
tak layak lari di pagi Kairo yang berdebu

tapi, kita tahu kalau ini pagi terakhir
kita sedang membuat alasan untuk bersama
menghabiskan waktu sisa untuk menanak
kenangan-kenangan yang mungkin sekali
melempar kita ke nganga dua jurang:

kerinduan yang keparat
atau kehilangan tanpa ampun

namun kita pun berangkat
dari Darasah ke Qadariyah

di kompleks makam Imam Syafii
kita beku, bukan karena suhu
atau juru kunci yang menolak memberi jalan
namun karena waktu tergugu

“pulang atau menunggu?” katamu

aku memilih yang pertama

namun kau tahu bahwa ini pagi terakhir:
“pernah menikmati kopi mesir?” tawarmu

di sinilah kita akhirnya,
di luar pagar makam imam yang berhati samudra
kita seruput faransawi
segelas air putih hangat rasanya nak kita bagi
namun, kegembiraan membuat kita lupa

bukan karena guliran waktu yang akhirnya
mengantarku ke hadapan makamnya;
berdoa, lalu mendengarkan ceramahmu
tentang silsilah masa lalu–temu dan jauh

kita pulang,
kau ke Darasah
aku ke Indonesia

hati lengang;
malam jadi panggang
dan pagi-pagi menjelma arang

Kairo, 9-12-2024

#

Benny Arnas
(Tak Ada) Kairo Subuh Ini

Jalanan basah di depan rumah
Menjelma jadi lorong-lorong Darosah
yang menuntun dua rakaat ke rumah-Mu

Di masjid, udara menjadi es
Seperti Kairo 13 derajat
Di pengujung doa, aku membayangkan
Lari pagi akan lebih menyenangkan:

Melintasi masa lalu yang megah
Memotret lanskap Benteng Al Ayyubi
Menziarahi Makam Imam Syafii
Menyeruput faransawi di Al Qadariyah
Atau sekadar belanja delima merah sekali

Di rumah, bakda mengaji, dan membisiki
Istri dan anak-anak; “Aku mencintaimu seperti mencintai kebaikan”, kukenakan sepatu lari

Sayang sekali, tak ada telur rebus pagi ini

Di luar, udara membuka tabir
Tanpa debu cokelat bata
Tanpa desing, klakson, teriakan, atau gonggongan anjing sana-sini

Allah.

(Kairo, 9-12-2024)

#

Palestina, 26 Km Sahaja

Matahari memang benam di Kairo
Dua puluh enam kilometer kukayuh doa
Di antara Damaskus dan Sinai, kutujumu:
Palestina, nyala-Mu tak pernah padam

Lubuklinggau, 17 Desember 2024

#

Sahur, Pukul 4

Tidur larut, bangun Subuh, dan tidur lagi
adalah ombak di pantai;
yang meski pergi, akan datang lagi
Berulang, begitu lagi, sehingga kau butuh
sesiapa untuk menyalakan dering di ponselmu:

“Bangunkan aku pukul 4, Bang.”

Lalu, sebagaimana fisabilillah,
kau berpuasa di tengah tumpukan diktat
yang memelototimu tiap kali kau
empaskan pantat di kursi belajar
“Lumat aku. Kau ke sini untuk mencari ilmu.”

Kau ingin sekali bilang,
“Aku suka lari dan ngaji. Kuliah hanya hobi.”
Lalu aku nyeletuk di alam mimpimu,
“Kita ini pengembara. Tar kalau kerja, hanya pengisi waktu luang saja.”

Lalu Kairo pecah dalam gelas asiir alpukatku,
sebagaimana rindu yang lumer dalam kushari firah di hadapan azan magrib itu

Lubuklinggau, 2 Januari 2025

TENTANG PENULIS: Benny Arnas menulis 31 buku. Buku puisi tunggalnya: Hujan Turun dari Bawah (2018) dan Lidah Mertua (2017).

PUISI MINGGU terbit setiap hari Minggu. Silakan mengirimkan 5 hingga 10 puisi tematik. Sertakan foto diri dan gambar atau foto ilustrasi untuk mempercantik puisi-puisinya. Tulis bio narasi dan pengantar singkat. Kirimkan ke email : gongtravelling@gmail.com. Ada uang pengganti pulsa Rp 300.000,- dari Denny JA Foundation. Sertakan nomor WA dan nomor rekening banknya. Jika ingin melihat puisi-puisinya yang sudah tayang, klik banner di bawah ini:

Please follow and like us:
error71
fb-share-icon0
Tweet 5