
Oleh Mointa Bangki
Duta Puisi Esai 2024 Sulawesi Utara
Di tanah yang harusnya menjadi tempat bertumbuhnya kasih, seorang gadis kecil delapan tahun bernama Zaa Di Bolaang Mongondow timur Sulawesi Utara harus mengakhiri hidupnya dalam derita yang tragis. Di tangan tantenya sendiri, ia kehilangan nyawa dan masa depan. Kisah ini menggambarkan bagaimana cinta yang hilang digantikan oleh kebencian dan keserakahan. Dalam puisi ini, tragedi tersebut disuarakan sebagai peringatan dan renungan bagi kita semua.
ooOOoo

Di bawah langit yang menggantung muram,
Hujan tak kunjung datang,
hanya desir angin mengelus sunyi,
tempat jejak kaki kecil terpahat di tanah basah.
langkah kecil menggemakan nada resah,
tangan mungil menggenggam harapan pasrah,
di belakang rumah, di bawah atap yang sama,
lenyaplah arti kata “keluarga”.
Di kebun yang bisu,
hanya angin yang merayap,
mencium jejak kaki kecil Zaa,
gadis delapan tahun yang membawa senyum.
(Suara angin mendesir di kebun sunyi. Zaa memandang langit yang mulai redup).
“Tante, ke mana kita?” tanyanya polos,
Suara lembutnya bagai burung kecil bernyanyi.
Arnita: (tersenyum tipis) Kita hanya akan memetik sayur. Jangan takut, Zaa.
“Tante, apa kita memetik sayur di sini?”
suara mungil itu melintasi hening,
namun bayangan di belakangnya
tak menjawab dengan kehangatan.
Setiba di tempat sunyi, sepi menjerit,
angin menderu, membawa desas-desus sakit.
Di belakangnya, tangan yang dulu hangat
kini mendorong dengan dingin tanpa belas kasih.
Di tanah basah, tubuhnya tersungkur,
dipaksa tunduk oleh tangan
yang dulu ia sebut pelindung.
“Tante, kenapa…?” Aku sakit!
(Suara kecilnya pecah seperti kaca yang retak).
Namun, bibir Arnita tertutup rapat,
tatapannya kosong, dipenuhi hasrat yang gelap.
Tubuhnya tertindih, tak bisa bergerak,
Seperti burung kecil yang terperangkap dalam jaring maut.
Tubuh mungil itu, bagai bunga yang gugur,
ditindih oleh bayang keserakahan,
bersimpuh pada tanah yang enggan menerima.
Tangan hitam mencengkram kuat,
menindih sayap yang tak sempat mengelak.
“Tante, tolong!”
Suara Zaa serupa angin yang terhalang,
Namun hati Arnita, beku dalam keserakahan,
Pisau itu muncul,
tajam seperti malam tanpa rembulan.
Pisau itu menyentuh leher Zaa,
Ia menari di leher kecil,
Mengirisnya perlahan, Membawa kepalanya terlepas
Seperti bunga yang jatuh sebelum waktunya.
Leher mungilnya mengucap jerit yang membungkam.
Air mata bumi mengalir,
Kepala mungil itu, permata yang redup
terlempar ke selokan,
menjadi saksi bisu dari hilangnya nurani.
Zaa, dalam diam, menangis tanpa suara,
Jeritanmu terhalang oleh darah yang mengalir deras.
Namun tak ada pelukan, tak ada yang datang menolong,
Tubuhnya didorong,
terjatuh tanpa daya,
tertelungkup di atas kebencian
yang tak pernah ia pahami.
Arnita menatap tubuh tak bernyawa.
Arnita: Maafkan aku, Zaa. Tapi ini perlu.
Aku perlu ini, aku butuh emas yang kau pakai.
“Ini untukku,” bisik Arnita,
Menggenggam perhiasan kecil
yang bersinar suram dalam gelap.
“Kau tak lagi membutuhkannya.”
Oh, Zaa, engkau bunga yang layu,
dipetik oleh tangan yang tak tahu malu.
Di manakah kasih, di mana cinta?
Mengapa keluarga berubah jadi bencana?
Kepalamu dilemparkan ke selokan gelap,
seperti mainan yang tak lagi layak.
Tubuhmu terkulai di pelukan bumi,
mengalirkan tangis yang menggema abadi.
Perhiasan kecil itu,
mengilap di tangan yang kini penuh darah.
Arnita menyeka darah dari pisau,
sambil menggenggam perhiasan kecil,
milik Zaa yang kini tiada.
“Untuk apa menangis?” bisiknya pada dirinya sendiri.
Arnita, apa yang kau cari? Dimana nurani mu?
Perhiasan kecil tak berarti ini?
Emas di tanganmu,
lebih kecil dari dosa di hatimu.
Bintang meredup,
menolak menjadi saksi tragedi itu.
Angin membawa nyanyian duka,
menyelimuti kebun yang menjadi altar kematian.
Di bawah langit yang terus menangis,
Doa-doa mengalir, terucap bersama air mata
Di bawah langit yang menyimpan cerita,
Kami titipkan keadilan untuk jiwa kecilmu, Zaa.
Tondano 22 Desember 2024
Catatan Kaki :
• https://www.detik.com/sumbagsel/hukum-dan-kriminal/d-7151381/bocah-tewas-dimutilasi-tante-pelaku-curi-emas-lalu-pulang-mandi-dan-salat
• https://youtu.be/Tq6QtLE0l7I?si=xkSYBrXlj9kSfPnT
• https://jateng.bulat.co.id/hukum/sadis-wanita-ini-tega-gorok-leher-ponakan-hingga-putus-demi-perhiasan-emas/

TENTANG PENULIS: Mointa Bangki kelahiran Kotamobagu, 16 Mei 2003, yang kini tengah menempuh pendidikan di Universitas Negeri Manado, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Sebagai seorang gadis yatim yang mandiri dan penuh semangat, Mointa aktif di dunia sastra, mengikuti berbagai ajang seperti lomba teater tingkat provinsi, lomba bercerita kabupaten/kota, serta sayembara menulis cerita anak Balai Bahasa Provinsi Sulawesi Utara dan sekarang juga adalah Duta Puisi Esai 2024 perwakilan Sulawesi Utara. Bagi Mointa, sastra bukan sekadar seni, tetapi sarana untuk mengekspresikan diri, merenungkan makna hidup, dan menyentuh hati banyak orang.

PUISI ESAI GEN BARU: Puisi Esai Gen Baru ini puisi esai mini 500 kata khusus untuk Gen Z dan Gen Alpha. Disarankan tema-temanya yang relate seperti bully, mental health, patah hati, broken home, sex bebas, dan narkoba. Bagaimana kalau lingkungan, politik, atau kritik sosial ke penguasa? Boleh saja asalkan ada fakta dan sertakan link beritanya. Tuliskan 500 kata. Sertakan bionarasi maksimal 5 kalimat, 2 foto penulis dan 2 ilustrasi AI yang mendukung puisi esainya. Kirimkan ke golagongkreatif@gmail.com dengan subjek: Puisi Esai Gen Baru. Ada honorarium Rp 300 ribu dari Denny JA Foundation bagi yang puisi esainya tayang. Jangan lupa sertakan nomor rekening bank.

