
Oleh: Cut Ade Rizqina Fuad
Buku Masyarakat Adat dan Kedaulatan Pangan karya Ahmad Arif benar-benar membuka mata kita tentang hubungan erat antara masyarakat adat dan sistem pangan yang berkelanjutan. Di tengah dunia yang semakin didominasi oleh pasar dan industrialisasi pangan, buku ini menjadi refleksi bagaimana masyarakat adat terus bertahan menjaga kedaulatan pangan, meskipun terus menghadapi tekanan.
Pada awal buku, Ahmad Arif langsung menyoroti inti masalah sistem pangan global saat ini, yang dikuasai oleh korporasi besar. Sistem ini membuat segalanya menjadi seragam, serta sering kali merampas hak-hak masyarakat adat atas tanah, air, dan hutan.
Lewat data dan cerita dari berbagai daerah di Indonesia, kita diajak memahami perjuangan masyarakat adat yang tidak kenal lelah menghadapi tekanan tersebut. Mereka, yang selama ini hidup selaras dengan alam, kini harus melawan perampasan lahan, perubahan iklim, hingga kehilangan budaya.

Cerita dari Lapangan: Potret Perjuangan Masyarakat Adat

Sebagai seorang jurnalis yang telah malang-melintang dalam isu lingkungan dan masyarakat adat, Ahmad Arif membawa perspektif yang unik. Ia tidak hanya menyajikan teori atau data, tetapi juga cerita langsung dari lapangan, seperti kisah para petani, nelayan, dan penghuni hutan yang terus berjuang mempertahankan hidup mereka.
Tema utama buku ini adalah pentingnya kedaulatan pangan, yaitu hak masyarakat untuk menentukan sistem pangan mereka sendiri. Ahmad Arif dengan tajam mengkritik model pertanian monokultur dan agribisnis besar yang merusak keanekaragaman hayati serta mengancam ekosistem lokal. Ia mengangkat contoh kasus seperti perjuangan masyarakat Dayak di Kalimantan, yang tetap bertahan dengan ladang berpindah, meskipun metode ini sering dipandang sebelah mata.
Kearifan Lokal: Solusi untuk Perubahan Iklim dan Krisis Ekologi

Isu lain yang tidak kalah penting adalah perubahan iklim. Ahmad Arif menunjukkan bagaimana masyarakat adat memiliki solusi lokal untuk mengatasi krisis ini. Dari praktik agroforestri hingga pengelolaan lahan berbasis kearifan lokal, mereka telah lama menjaga ekosistem jauh lebih baik dibandingkan dengan model eksploitasi modern.
Membaca buku ini terasa sangat relevan dengan situasi saat ini. Krisis pangan global akibat pandemi, perang, dan perubahan iklim semakin menekankan pentingnya sistem pangan yang tangguh dan adil.
Saat banyak negara bergantung pada impor pangan, masyarakat adat Indonesia justru memiliki pengetahuan lokal yang memungkinkan mereka untuk mandiri. Namun, ironisnya, mereka sering kali menjadi kelompok yang paling rentan terhadap kelaparan akibat kehilangan akses ke sumber daya alam.
Kisah-kisah dalam buku ini seolah menjadi pengingat bahwa solusi krisis pangan sebenarnya ada di depan mata. Tradisi, kearifan lokal, dan keanekaragaman hayati menjadi kunci. Namun, semua itu tidak akan berarti jika hak masyarakat adat atas tanah dan sumber daya mereka tidak diakui. Ahmad Arif dengan tegas menyatakan bahwa tanpa keadilan agraria, pembicaraan tentang kedaulatan pangan hanya akan menjadi wacana kosong.
Yang membuat buku ini semakin menarik adalah gaya bercerita Ahmad Arif. Ia tidak hanya memberikan data, tetapi juga mengajak pembaca masuk ke dalam cerita-cerita nyata.
Misalnya, saat ia menceritakan kehidupan seorang petani di Flores yang kehilangan ladangnya karena proyek pembangunan. Kita tidak hanya membaca cerita itu, tetapi juga ikut merasakan kesedihan, kemarahan, dan harapan di baliknya.
Bahasa yang digunakan sederhana tetapi sarat makna, membuat buku ini terbilang mudah dinikmati oleh siapa saja, mulai dari akademisi, aktivis, hingga masyarakat umum.
Ahmad Arif berhasil menjembatani pembaca urban, yang mungkin jauh dari isu agraria, dengan realitas kehidupan masyarakat adat.
Kembali ke Kearifan Lokal di Tengah Krisis Global
Bagi saya pribadi, buku ini adalah karya yang tidak hanya mendidik, tetapi juga menginspirasi. Ini adalah ajakan untuk kembali menghargai alam, memperkuat kearifan lokal, dan mendukung perjuangan masyarakat adat dalam mempertahankan hak-hak mereka.
Di tengah krisis ekologi dan ketimpangan sosial, buku ini memberikan pandangan yang segar dan mendalam, sekaligus mengingatkan kita bahwa solusi sering kali berasal dari mereka yang selama ini diabaikan. Kini, tugas kita adalah mendengar, belajar, dan bergerak bersama mereka.
Judul: Masyarakat Adat dan Kedaulatan Pangan
Pengarang: Ahmad Arif
Tanggal Terbit: Januari 2021
Halaman: 324
Genre: Non-fiksi, Humaniora
Tentang Penulis:
Cut Ade Rizqina Fuad lahir di Banda Aceh pada 29 April 2003. Saat ini sedang menempuh semester 7 di Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh. Selain aktif di Lembaga Organisasi Kampus juga mendalami dunia kepenulisan sejak setahun terakhir. Pesan Ali bin Abi Thalib yang membuatnya semangat untuk menulis yaitu “Semua penulis akan mati. Hanya karyanya lah yang akan abadi. Maka tulislah sesuatu yang membahagiakan dirimu di akhirat nanti.”

RAK BUKU mulai Mei 2024 tayang satu minggu sekali, setiap hari Rabu. Rak Buku adalah resensi buku. Upayakan tulisannya membangun suasana lokasi membaca, personal literatur. Boleh juga menulis seperti catatan perjalanan. Panjang tulisan 500 hingga 700 kata. Honor Rp100 ribu. Sertakan foto diri, bio narasi singkat, identitas buku, nomor WA, rekening bank, foto-foto cover buku, penulisnya sedang membaca bukunya. Kirim ke email golagongkreatif@gmail.com dan gongtravelling@gmail.com dengan subjek: Rak Buku.
