Oleh Akmal Nasery Basral*

Manusia membaca dengan beragam niat. Bagi Gen Z (lahir 1997 – 2012), misalnya, diwakili dengan bagus lewat senandung Bernadya, “ _kubaca sampai tuntas semua buku yang paling kausuka_ “,  lantunnya dalam lagu Kata Mereka Ini Berlebihan. Artinya, membaca dijadikan sarana pedekate, ikhtiar menggaet perhatian lawan jenis. Sebagai modus.

Tentu bukan hanya Gen Z yang melakukan ini karena Gen Y/milenial (kelahiran 1981 – 1996) dan Gen X (kelahiran 1965 – 1980) pun melakukan hal serupa pada era masing-masing. Saat mereka muda. Tentu tidak semuanya begitu, melainkan sebagiannya.

Komedian senior yang kini menjadi anggota DPD RI, Komeng, pernah memberi tahu saya. Katanya, “Saya membaca banyak koran dan majalah untuk mencari bahan lawakan,” katanya satu ketika di awal kariernya di tahun 90-an. Saat itu sumber informasi paling diandalkan memang media cetak karena internet baru di awal kelahiran. Membaca sebagai pijakan profesi bukan hanya dilakukan Komeng, juga oleh para guru, dosen, politisi, pustakawan, sastrawan, dramawan, sineas film, periset, akademisi, dan banyak pekerjaan lain.

Ada juga yang membaca untuk menenangkan hati dan mendamaikan perasaan. Ini biasanya dilakukan para rohaniwan terhadap teks-teks sakral dan suci yang mereka tekuni. Sementara anak-anak umumnya membaca dengan keinginan untuk mendapatkan kesenangan dan pengetahuan baru yang membuat mereka terkagum-kagum sebagai penjelajah wawasan yang antusias.

Dari sisi manfaat, tak ada yang salah dengan semua jenis niat. Sepanjang hasil membaca berbuah kebajikan dan kemaslahatan bagi sesama manusia, makhluk hidup lainnya dan alam lingkungan, maka membaca merupakan aktivitas positif yang harus dilakukan, bukan hanya kegiatan pengisi waktu luang.

Akan tetapi, membaca tak selalu berbuah kebaikan. Membaca bisa juga menyuburkan sifat rakus dan tamak dalam diri manusia. Eksploitasi tambang, mineral, dan aneka kekayaan bumi serta keragaman hayati lautan yang sampai tahap merusak lingkungan, juga dilakukan oleh orang-orang yang gemar membaca dan berwawasan luas. Mereka tahu potensi kekayaan dari setiap elemen tanah dan air dengan pengetahuan melebihi rakyat kebanyakan. Pengetahuan hasil membaca itu membangkitkan sikap serakah manusia untuk menguras sumber daya alam demi kekayaan pribadi atau kelompoknya saja.

Begitu juga pengetahuan tingkat tinggi tentang senjata-senjata canggih yang merupakan buah dari membaca. Kemampuan itu alih-alih digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan umat manusia, malah digunakan untuk mengobarkan perang dan genosida, sembari terus menangguk untung dari bisnis senjata. Proses membaca yang terjadi di jalur seperti ini tidak ada manfaatnya bagi kemanusiaan kecuali kemusnahan dan kerusakan massal.

Maka, membaca harus dikembalikan kepada jalurnya yang benar, pada filosofi yang lurus. Membaca harus dilakukan dalam koridor nama Tuhan seperti termaktub dalam Al Qur’an surat Al Alaq ayat 1. Ayat pertama yang disampaikan Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad ﷺ. Antara “bacalah” dan “dengan nama Tuhanmu yang menciptakan” merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Sebab, jika membaca tidak dikaitkan dengan nama Tuhan yang menciptakan, hasil bacaan bisa dikuasai oleh syahwat kekuasaan, ambisi kejayaan, nafsu kebendaan, yang bertentangan dengan filosofi membaca itu sendiri sebagai sebuah aktivitas yang meluaskan pengetahuan sembari melembutkan akal budi.

Inilah Risalah 2025 yang perlu kita ingatkan kepada diri masing-masing agar membaca menjadi kegiatan yang bermakna sesungguhnya. Selamat membaca. (*)

*Penulis sudah menghasilkan 26 judul buku, beberapa di antara novel seperti Nagabonar Jadi 2 atau Sang Pencerah yang juga difilmkan. Pernah menjadi jurnalis majalah berita Gatra dan Tempo.

Please follow and like us:
error69
fb-share-icon0
Tweet 5