
Oleh: Ummi Ulfatus Syahriyah
Duta Puisi Esai 2024 Jawa Timur
Penjajah Belanda belum mengakui kemerdekaan Indonesia pasca proklamasi 17 Agustus 1945. Mereka berusaha merebut kembali Indonesia dan mendudukinya. Para kelompok pribumi yang mengatasnamakan pemuda atau yang disebut dengan pelopor pun tersulut amarahnya sehingga hendak membalas kekejaman kolonialisme Belanda. Pertempuran sengit itu memakan banyak korban hingga ribuan nyawa melayang.
ooOOoo

Anak kecil seusia Cokro
menyimpan memori kelam
dalam jendela rumahnya.
Di usianya yang 5 tahun,
ayahnya berpamit.
Sang ayah mengelus kepalanya
dengan lembut.
Ia mengikuti ayahnya sampai bibir pintu.
Ia saksikan kerusuhan.
Dari balik kaca jendela,
ia mengintip sang Ayah
yang sedang menuntut balas kekejaman, katanya.
“Nyawa dibalas nyawa!”
“Indonesia merdeka, harga mati!”
Usai sang Merah Putih berkibar dengan gagah
bersama kumandang proklamasi kemerdekaan,
pertumpahan darah memenuhi jejalan aspal.
Tuan Mook tak ingin lepas tangan,
“Daulat rakyat negeri ini harus
tetap dalam genggaman!”
Ayah Cokro nyalakan kobar api
dalam nadi,
tuk habisi Tuan dan para kroni.
“Jangan terbelah!”
teriaknya lantang,
menggema pada telinga yang sadar ‘kebhinekaan’

Namun rupanya bayang kolonialisme
merasuki tubuh yang telah rapuh.
Ayah Cokro harus menghabisi kawan setanah air.
Ketika malam tiba,
ayah Cokro menyimpan senter
pemberian anaknya
dalam saku baju
tepat pada dada sebelah kanan.
Di tengah lorong yang gegap gempita,
ia simpan senter itu dengan aman.
Se’aman’ harapan
yang hendak dibawa pulang.
Ia berharap pulang,
menghadiahi anaknya keselamatan.
ooOOoo
“Siap” teriak barisan yang rapi membentang,
tak goyah sedikitpun dalam maju menghadang.
Ayah Cokro memantrai bambu runcing
dengan matang.
Kawan lain pun memantrai senjatanya
sembari menunggu gerombolan NICA datang.
Mantra pada bambu runcing itu “mujarab”
Karena berhasil menusuk sasaran.
Nun di sana, peluru ditembakkan
menembus dada ayah Cokro sebelah kanan.
Senter pemberian jagoan kecilnya hancur,
hadiah keselamatan yang hendak ia bawa pulang
hanya menjadi angan.
Dalam matanya yang hendak terpejam,
tersimpan bayangan Cokro yang akan tumbuh besar.
Ia berharap bahwa Cokro dewasa akan tumbuh
menjadi anak yang nasionalis,
mencintai bumi pertiwi dengan sepenuh hati.
Nadinya tak lagi berdetak,
kericuhan sekelilingnya tak terdengar.
Matanya pun terpejam.
Ia menyisakan senyuman manis dalam bibirnya
dengan penuh ketenangan.
ooOOoo
Cokro tak bisa tidur nyenyak,
ia mengharapkan ayahnya pulang
dan segera memeluknya
dengan penuh kehangatan.
Hingga keesokan pagi ia tersadar,
mendengar suara isak ibunya yang memberi kabar
bahwa sang Ayah telah berpulang ke lain alam.
Cokro menatap kaca rumahnya dengan dalam;
mengingat bisikan kali terakhir ayahnya
yang terdengar;
“Nak, jika negeri ini sedang berguncang, jadilah penenang!”
*) Malang, 19 Desember 2024
*) Catatan kaki:


PUISI ESAI GEN BARU: Puisi Esai Gen Baru ini puisi esai mini 500 kata khusus untuk Gen Z dan Gen Alpha. Disarankan tema-temanya yang relate seperti bully, mental health, patah hati, broken home, sex bebas, dan narkoba. Bagaimana kalau lingkungan, politik, atau kritik sosial ke penguasa? Boleh saja asalkan ada fakta dan sertakan link beritanya. Tuliskan 500 kata. Sertakan bionarasi maksimal 5 kalimat, 2 foto penulis dan 2 ilustrasi AI yang mendukung puisi esainya. Kirimkan ke golagongkreatif@gmail.com dengan subjek: Puisi Esai Gen Baru. Ada honorarium Rp 300 ribu dari Denny JA Foundation bagi yang puisi esainya tayang. Jangan lupa sertakan nomor rekening bank.

