Sebuah Puisi Obituari Abdul Salam
Oleh Muhzen Den

Kepergianmu yang begitu cepat tak sempat aku persiapkan. Perasaan kita baru beberapa saat berjumpa. Namun, engkau begitu cepat berkemas. Meninggalkan remah-remah kenangan yang melekat di dada dan pikiran ini

Memang aku tak memperkirakan bahwa engkau sebenarnya telah siap dengan kata-kata dan senyuman yang terserak di belantara puisi. Aku pun alfa pada tanda-tanda itu. Tentang batu-batu, sungai, sawah, dan kampung halaman yang kau tuliskan.

Bahkan, pohon melinjo yang kau singgahi dalam istirahatmu. Aku pun luput menyaksikan pembaringan mu. Seperti kehilangan cinta sejati pada ranumnya bunga-bunga. Hujan yang membasahi kala gersang. Semua musim berganti dalam satu waktu.

Aku tak lagi percaya pada canda yang kau tawarkan dulu. Sebab nyeri yang kau tinggalkan pada lubang di sanubari begitu memanjang. Aku tak sanggup lagi mengungkapkan kesenangan di kala kau beranjak pada kesendirian.

Enam belas tahun bersemi tidaklah cukup bagiku menutup pintu pada perjumpaan baru. Pada sosok yang baru tetapi bukan kau yang sesungguhnya. Aku benar-benar kehilangan.

Nyanyian tangis dari dua sosok pengisi hatimu seolah menyayat kepedihan ini. Sejak kau pergi, ketidakpercayaan ini semakin mengoyak-oyak aortaku. Kekosongan menjelma teman yang tak diundang.

Aku ingin mengucapkan terima kasih atas waktu kebersamaan yang kau isi. Tapi, bukan perpisahan yang kau sodorkan pada catatan masa lalu.
*

Pada pergantian waktu, aku ingin memulai hal baru bersamamu. Namun, bukan kabar kepergianmu yang menusuk-nusuk sembilu. Luka seakan terus menganga meskipun manis kenanganmu begitu memabukkan.

Dalam istirahku yang lelap. Aku tak ingin bangun dengan beban kenangan yang tak kusiapkan. Kau pergi saat pergantian waktu subuh menuju terang. Padahal harapan membumbung memenuhi kegembiraan. Namun, kau begitu lelah untuk bersenda gurau.

Dalam pergantian ini, aku ingin meneguk kembali kelapa muda yang kau kupas dalam hiruk-pikuk pasar. Bernostalgia dengan bayang-bayang semu tentang buku dan masa depan. Namun, itu yang bisa aku minta darimu.

Kini kau telah pergi dan berpindah pada dunia harapan. Kelak aku akan pergi juga di dunia yang kau singgahi saat ini. Meskipun usia tak tahu batasan yang ditakdirkan semesta. Kita hanya bisa berencana melakukan yang terbaik untuk diri dan orang lain. Sementara kau seperti telah tahu apa yang akan terjadi dengan puisi-puisi sebagai senjata. Kode bahasa puitika darimu menjelma candu. Padahal itu yang kau maksud dari perpisahan ini.

Setiap aku menyaksikan dua sosok orang yang kau cintai dan sayangi, aku tak bisa menahan bendungan air di mataku. Ingin kumaki dunia fana ini, namun itu tidaklah cukup mengembalikanmu seperti dulu. Hanya bayang-bayang masa lalumu nan indah itu yang berjejalan memenuhi kepala dan dada ini.

Di pergantian waktu, bukankah itu saat yang tepat untuk berencana dan berharap lebih. Tapi, kau malah bersiap pergi di tengah kesunyian. Aku tak bisa menghadapi kenyataan ini tanpa senyummu. Candu kebaikan yang kau tebarkan pun telah memenuhi kantong hatiku. Orang-orang yang kau sayangi hanya bisa meratap dalam hati tanpa kata umpatan. Puisi-puisi tentangmu lahir bak hujan di tengah kemarau. Menyejukkan namun sepi.

Aku menulis tentangmu bukan untuk sebuah ratapan atau tangisan. Aku ingin mengambil kembali semangat puisimu yang berserak di belantara teks serta imaji. Aku ingin mengabadikan kenanganmu agar tetap terjaga meskipun kau telah tiada.

*) Cengkong, Desember 2024-Januari 2025

Please follow and like us:
error69
fb-share-icon0
Tweet 5