Oleh: Naufal Nabilludin

Sejak pukul satu siang, 19 Januari 2025, aku sudah berdiri di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Suasana pelabuhan begitu sibuk, ramai dengan hiruk-pikuk manusia, suara kendaraan, dan deru kapal-kapal besar. 

Aku masih sulit percaya bahwa hari ini aku akan naik kapal laut, KM Egon, menuju Pelabuhan Lembar, Lombok, NTB. Ini adalah perjalanan laut pertamaku, 23 jam berlayar membelah lautan. Bayangan laut yang luas, kapal yang berayun-ayun, dan angin yang menampar wajah terus menghantui pikiranku. Antara cemas dan antusias, aku berdiri di ambang pengalaman baru.

Awalnya, kapal dijadwalkan berangkat pukul 15.00 WIB. Aku dan rombongan Jelajah Bumi Pertiwi Sinesia sudah check-in tepat pukul 13.30. Tapi, seperti yang sudah kudengar dari cerita-cerita pelaut, jadwal pelayaran kadang hanyalah ilusi.

Baru pukul 16.00 pintu pelabuhan dibuka. Saat itu, para porter bergegas masuk, bergerak cepat seperti semut yang menemukan gula. Mereka menjemput rezeki dengan menawarkan jasa angkut barang kepada penumpang yang tampak kewalahan dengan barang bawaan.

Ruang tunggu sebelum naik ke KM Egon

Aku dan teman-teman perlahan menaiki kapal, berusaha tetap bersama di tengah kerumunan. Kami ditempatkan di deck dua, satu lantai di atas ruang mesin kapal. Ketika masuk ke dalam, mataku langsung menangkap pemandangan yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya, kasur-kasur tipis berjejer di lantai, setiap kasur diberi nomor yang tergantung di langit-langit. 

Kasur, Kerumunan dan Kehidupan di Kapal

Penumpang sibuk mencocokkan nomor tiket dengan nomor tempat tidur, sementara yang lain sudah nyaman rebahan, mengelilingi barang bawaan yang mereka susun di sekelilingnya.

Suasana di dalam KM Egon

Pukul 17.00, akhirnya KM Egon lepas tambatan. Aku bergegas keluar deck untuk melihat proses keberangkatan. Kapal Tunda atau Tugboat kecil menarik kapal kami, para pekerja pelabuhan sibuk menarik tali dan memastikan semuanya aman.

Perlahan, Surabaya mulai menjauh dari pandangan, berganti dengan hamparan laut biru yang membentang tanpa batas. Rasanya mendebarkan, tapi juga membebaskan.

Di awal pelayaran, aku menikmati suasananya. Angin laut yang sejuk dan pemandangan yang membuatku merasa damai. Namun, satu jam berlalu, dan laut mulai menunjukkan wataknya. 

Ombak yang tadinya lembut berubah menjadi gelombang yang menggoyangkan kapal. Tubuhku ikut terombang-ambing, ke kiri dan ke kanan. Aku mencoba bertahan, tapi mual mulai merayap. Beberapa teman mulai muntah, dan aku hampir menyusul, meski akhirnya berhasil menahan diri.

Menahan Rindu di atas Kapal

Di sela-sela mual, aku sempat berbincang dengan beberapa penumpang. Ada seorang bapak yang baru selesai liburan dan hendak kembali bekerja di Indonesia Timur, sementara yang lain menceritakan perjalanannya dari Kalimantan menuju Sumba, perjalanan panjang selama lima hari. 

Wajah-wajah mereka menyiratkan kerinduan yang dalam, rindu pada keluarga, rindu pada kampung halaman. Aku tersentuh oleh kesabaran mereka, oleh semangat mereka menunggu dan menahan rindu yang akhirnya akan terobati.

Dalam obrolan dengan sesama penumpang, aku dan teman-teman yang masih awam soal pelayaran sering bertanya, “Ini aman, kan, Pak? Kapal nggak bakal kenapa-kenapa?” Tawa kecil biasanya menyambut pertanyaan itu. “Biasanya sih aman, kita serahkan saja semuanya sama Tuhan,” jawab salah satu penumpang yang hendak ke Sumba dengan nada yakin, tapi pasrah.

Berdoa dan Berserah

Malam itu, sebelum kapal sepenuhnya masuk ke lautan lepas, ada momen doa bersama. Salah satu frasa yang diucapkan adalah, “Kami serahkan jiwa dan raga ini kepada-Mu.” Di situ, aku merasa kata-kata itu begitu hidup. 

Di tengah lautan yang luas dan gelap, aku benar-benar merasa kecil, rapuh, dan bergantung sepenuhnya pada kuasa-Nya. Kata-kata itu menggema dalam hatiku, mengingatkan bahwa hidup ini hanyalah perjalanan singkat, dan pada akhirnya, kita akan kembali kepada-Nya.

Ada rasa takut, ada rasa syukur, dan ada rasa kagum pada kebesaran alam. Ini adalah pengalaman yang akan selalu ku kenang. Perjalanan pertama melintasi lautan, yang mengajarkanku tentang keberanian, kerendahan hati, dan arti menyerahkan diri sepenuhnya pada Sang Pencipta.

Kita adalah milik Sang Pencinta. 

Surabaya-Lombok 19-20 Januari 2025.

Please follow and like us:
error69
fb-share-icon0
Tweet 5