
Puisi Gol A Gong
NASI TIMBEL DI RESTORAN
aku berlari ke sawah
petani berebut piring
nasi aking tumpah di halaman
sawah mereka dicuri bebegig
“Mana nasi Cianjur pujaan hati?”
Soekarno hidup lagi, berdiri di pematang negeri
datang pelangi tidak di musim hujan
dibungkus daun pisang dibawa artis dangdut
menawarkan kuis berhadiah tahu-tempe
penuh gairah harga diri petani
maka Tan Malaka menyamar jadi orang Indonesia
tak memiliki identitas terseret empat mata angin
menjauhi Jakarta tidak menemukan arti merdeka
mari, cari penjual nasi timbel
di restoran jalan protokol
siapa tahu tersedia
*) Serang, 15/2/2014

Puisi “Nasi Timbel di Restoran” karya Gol A Gong memiliki nuansa satir yang menggambarkan realitas sosial dan ironi kehidupan petani di Indonesia. Berikut beberapa hal menarik dari puisi ini:
- Kritik Sosial tentang Kehidupan Petani:
- Petani, sebagai simbol pekerja keras dan penghasil makanan, justru digambarkan berebut piring dan makan nasi aking. Ini menyoroti kesenjangan antara kontribusi mereka terhadap pangan dan kehidupan yang layak.
- Konflik Identitas dan Nasionalisme:
- Kehadiran tokoh-tokoh sejarah seperti Soekarno dan Tan Malaka menambah kedalaman puisi ini. Soekarno berdiri di “pematang negeri,” mungkin menggambarkan harapan akan kebangkitan nilai-nilai perjuangan, sementara Tan Malaka yang “tak memiliki identitas” mencerminkan alienasi dalam perjuangan kemerdekaan yang kehilangan maknanya.
- Simbolisme Nasi Timbel:
- Nasi timbel, makanan khas Sunda, menjadi representasi budaya yang terpinggirkan, apalagi jika hanya ditemukan di restoran di jalan protokol—menunjukkan bahwa sesuatu yang tradisional telah menjadi eksklusif dan jauh dari masyarakat akar rumput.
- Sindiran terhadap Modernitas dan Kapitalisme:
- Kehadiran artis dangdut yang membawa kuis dengan hadiah tahu-tempe mencerminkan eksploitasi budaya rakyat kecil demi hiburan dan keuntungan kapitalis.
- Harapan yang Suram:
- Akhir puisi mengajak mencari nasi timbel di restoran, bukan di ladang atau pasar tradisional. Ini menunjukkan keterputusan antara masyarakat urban dan sumber daya asli bangsa.
Puisi ini tidak hanya menjadi refleksi, tetapi juga tantangan untuk melihat ulang nilai-nilai kemanusiaan dan nasionalisme di tengah arus globalisasi dan modernisasi.
Tim GoKreaf/AI
